Follow Me @lavidaqalbi

11/14/2018

Aku Rindu Kamu, Wahai Kawan Lamaku

November 14, 2018 1 Comments
Selamat datang kembali, oh hujan. Aku menyambutmu dengan pelukan, ketika semua orang berusaha mengusirmu jauh-jauh. Aku merindukanmu sejak waktu yang lama, akhirnya kini kamu datang. Ingatkah kamu bahwa dulu kita memiliki banyak sekali kenangan? Kamu membuat hidupku yang hampa bak cangkir kosong, menjadi penuh dengan air kehidupan. Terimakasih, hujan.
Bahkan kini, akupun masih tidak jenuh akan hadirmu di hidupku. Angin dingin yang memelukku erat, juga tangisan langit yang menemaniku menangis. Terimakasih karena selalu mengusir rasa kesepian yang menggerogoti jiwaku.
Dear Hujan... Bolehkah aku menumpahkan segala kepahitan hidupku padamu? Banyak sekali yang telah terjadi ketika kamu tidak di sisiku. Tolong, guyur aku, bersihkan aku dari segala kemalangan yang menempel pada tubuhku ini. Kemarin aku beradu api dengan mereka lagi. Mereka, yang membuatku menjadi manusia paling tidak berguna di muka bumi. Umpatan dan cacian yang mereka keluarkan telah menarik pelatuk di pistol pikiranku. Aku tidak kuat lagi, hujan. Jadi kuputuskan untuk pergi dari rumah neraka itu lewat pintu belakang, aku kabur. Dan kemudian kamu segera menyambutku.
Rintikan air yang perlahan memelukku, membuat pakaian dan rambutku seketika basah kuyup. Aku memeluk diriku sendiri lebih erat, berusaha menetralisir angin yang juga ikut datang untuk menemaniku. Aku berjalan mengelilingi desa, sembari menahan rasa sakit di telapak kaki karena tidak menggunakan alas kaki. Saat itu sore hari menjelang maghrib, semua orang telah masuk ke rumah mereka masing-masing. Aku sendirian, tapi kamu datang menemaniku. Kamu juga membilas air mataku yang jatuh terus-menerus. Terimakasih.
Begitu jauh aku berjalan, sampai tak terasa mataku melihat hamparan sawah di sekitar. Sambil tetap berjalan perlahan, aku menangis di hadapanmu. Aku tidak tahu aku harus kemana, tapi kedua kakiku terus bergerak maju meski tak tahu arah. Aku bingung. Tapi setidaknya, kamu berada di sisiku, hujan... ketika semua orang pergi meninggalkanku.
Awan gelap nan mendung bernyanyi untukku, nada keras petir yang marah mewakilkan hatiku yang terbakar. Namun lagi-lagi, kamu menyiram api di hatiku dengan sabar. Mendinginkan hatiku yang panas.
Kemarin kamu yang menemaniku, tadipun kamu yang menemaniku. Ketika itu, jam di ponselku menunjukkan pukul setengah delapan malam. Aku sedang terduduk manis di tengah areal tempat anak muda menghabiskan waktu. Kulihat sepasang kekasih yang bercanda tawa, kulihat kedua orangtua bergandengan tangan sambil melahap gorengan ditemani anak mereka yang bermain layang-layang. Sedangkan aku sendirian di sini, menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Ku cek satu-persatu pesan yang masuk. Ada dari si A, si B, si C, si D. Hanya pesan klise seperti, "sudah makan belum?", "lagi ngapain?", "Vid? Oy? Bales Oy! *lalu dia menelponku 100x*", "besok jadi kan ketemuan?",  "hey cantik, nanti aku telpon kamu ya". Ya, mereka semua laki-laki. Sudah menembakku pula. Namun tidak sedikitpun aku menggubris mereka. Hatiku sedang dalam perasaan yang kacau. Dan aku menunggu pesan dari seseorang, tapi sayang sekali, orang yang kutunggu malah orang yang tidak peduli padaku. Kelihatannya mungkin seolah aku pamer karena disukai beberapa lelaki, ya? Bukan itu maksudku. Aku juga bukannya tidak bersyukur atau apa. Tapi hal-hal percintaan menurutku hanyalah kesenangan di awal berujung penyesalan di akhir. Dan aku tidak ingin penyesalan. Hidupku sudah mempunyai banyak penyesalan, aku tidak mau menambah beban.
Jadi, kukeluarkan alat bahagia sementaraku beserta sahabatnya (pemantik) dari tas. Aku memberinya nyawa lalu kumasukkan ia ke dalam paru-paru sampai seluruh hatiku terisi hangatnya untuk sementara waktu. Kupejamkan mata, menikmati sementara di dalam tubuhku yang terasa hangat. Lalu perlahan-lahan ku keluarkan ia dari bibirku, memberinya raga abu yang terlihat namun juga hanya untuk sementara. Aku tenang, rasa sedih di hatiku menghilang. Dan akupun bahagia, untuk sementara waktu.
Kemudian kamu pun datang kembali, hujan. Menjemputku yang main dengan teman lainku sampai lupa waktu, berusaha mengingatkanku, seolah seperti ibu. Airmu membuat alat bahagia sementaraku mati. Dan mau tak mau aku harus berhenti kemudian berteduh jika tak ingin terkena amarah airmu yang bisa membuatku menggigil kedinginan. Aku berpindah ke bawah pohon rindang yang tenang, yang melindungiku saat kamu marah. Maaf membuatmu kecewa, hujan. Kumohon maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi, aku janji. Tapi jangan pergi. Tetaplah di sisiku, menemaniku dikala sepi—bukannya memberi badai parah kepada hatiku yang telah porak-poranda. Aku mencintaimu, hujan. Terimakasih sudah menjagaku. Aku akan berubah, jadi tolong jangan tinggalkan aku.

11/06/2018

r a n d o m

November 06, 2018 0 Comments
I love my life now, that's all.
Smile for every little things that happened to me. Good or bad, they will pass.
Let's be a better person, you and me. Yeah, you! You who read this, let's be grateful from now on. No ranting, no whining, just show gratitude.
Life's too short to just waste it in sadness or grudges or drama.
Take it easy, and sing "Let It Go" by Idiana Menzel 💜
Whatever people say, just be you. You'll be judged as being fake anyway. You'll be judged for every little thing that you do, so just do whatever you want that will makes you and people happy.
I am thankful for them, all of the people who did hurt me in the past. Without them I won't have a chance to grow up. So thank you. And anyway, by leaving me and abandons me, you didn't make my trauma more bigger. In facts, now I can deal with people who is going to leave me. I am not scared of being in relationship with someone anymore.
Yeah. I was upset and crying every night whenever I remember all the memories that we shared. But it doesn't matter anymore. I am happy now. And I think you guys must be happy too, right? We're all happy with our own path we choose
You guys taught me a very hard lessons, and I think it's because Allah loves me so much. So, I let you go. I won't take any grudges to you all, the people who left me. I will take this as a lesson.
Whatever, if I smile to you in the hallways of school, and you don't smile back... Whatever.
Whatever, if I greet you when we accidently pass each other, and you don't greet me back but act like you don't know me... Whatever.
I will keep doing what I think is the right things to do. I want to grow up. I want to be happy. So I'll think so much positivity, including thoughts about you—the people who have left me. I'll keep being nice to you, it's your problem now. Not mine. But if I can give you some advice, grow up. Be mature. Don't take any grudges towards people, and you will be happy. The end.

8/25/2018

Damn was this taken when I get drunk?

Agustus 25, 2018 0 Comments
I am heart broken. Kalian tahu nggak sih rasanya nggak yakin dengan orang yang bilang bahwa mereka sayang pada kalian? Akhir-akhir ini pikiranku penuh dengan hal-hal negatif, sumpah.
Pikiranku bilang, bahwa orang-orang nggak ada yang sayang sama aku. Mereka cuma kasian sama aku, karena aku punya mental ilness & suicidal thought. Rasa kasihan dan rasa sayang. "Dua hal yang berbeda, tapi bedanya tipis sekali", kata guru BK di sekolahku.
Kalian pasti tahu lah, rasanya nggak berharga dan menjadi beban untuk orang lain. Perasaan-perasaan seperti itu yang membuatku rasanya ingin bunuh diri aja. 
Aku merasa seperti monster. Aku tidak kenal lagi siapa diriku yang sesungguhnya. Ada sesuatu yang meracuni pikiranku, sesosok monster yang kejam, manipulatif, dan penuh kontrol.
Monster ini selalu membisikku bahwa aku sendirian, bahwa tidak ada orang yang sayang dengan tulus padaku. Dan bodohnya lagi, aku percaya. Aku seolah jadi buta dengan curahan kasih sayang yang orang lain beri padaku. Karena monster itu bilang; bahwa orang-orang sekitarku hanya akting peduli padaku, bahwa mereka sebenarnya lelah denganku yang menyusahkan tapi mereka tetap mentolerirku, bahwa aku hanyalah beban untuk sekitarku, bahwa aku harusnya segera sadar diri dan berhenti merepotkan sekitarku dengan membunuh diriku.
Setiap hari, jam, menit, detik... Monster itu selalu berada di sisiku, menemaniku tanpa lelah. Bisikan monster itu semakin menjadi-jadi. Apalagi ketika malam tiba, bisikan jahat itu berubah menjadi jeritan yang sungguh membuatku sakit. Rasanya aku tak tahan, jadi aku mulai 'berteman' dengan benda-benda tajam untuk menenangkan diri.
Aku jadi mempunyai pola pikir yang sempit, gara-gara monster itu aku berasumsi bahwa tidak ada yang sayang padaku. Bahwa aku sendirian. Bahwa tidak penting apakah aku hadir di dunia ini atau hilang. Bahwa kematian terlihat lebih menjanjikan, daripada hidup yang tak pasti arah tujuannya.
Rasanya aku akan gila. Aku mulai melakukan hal-hal kejam kepada diriku sendiri karena pikiranku yang teracuni. Aku ingin monster ini pergi. Sudah kucoba ribuan kali untuk mengusirnya, tapi ia masih saja melekat padaku. Dan tanpa sadar akhirnya menjadi bagian dari identitasku. Yang membuatku jadi tidak ingin monster ini pergi, karena jika monster ini pergi maka hilanglah identitasku. Terdengar gila, ya? Orang normal tidak akan tahu maksudku. Karena banyak peribahasa yang kugunakan, yang hanya akan bisa dimengerti oleh orang yang hatinya sudah ditusuki ribuan pedang.
Aku terlalu sibuk memikirkan bahwa yang orang-orang lakukan untukku, hanyalah karena mereka kasihan (bukan sayang). Dan rasa kasihan hanya akan bertahan sementara, bukan? Aku takut mereka tidak lagi peduli padaku lalu meninggalkanku. Jadi aku menyakiti diriku. Dengan tidak makan berhari-hari sampai maagku kumat, hanya agar mereka tidak meninggalkanku. Sungguh kacau. Aku tahu aku salah, dan seharusnya aku berhenti. Namun aku tidak bisa, rasanya seperti candu. Melihat dan merasakan rasa khawatir mereka padaku, aku merasakan sayang dari situ. Padahal itu hanya rasa kasihan (mungkin).
Sungguh, sebenarnya orang-orang benar-benar sayang padaku atau hanya kasihan sih? Seseorang, tolong katakan padaku yang sesungguhnya! Aku lelah menerka-nerka dan ketakutan sendiri seperti ini.
Kenapa aku menjadi monster seperti ini? Yang manipulatif dan egois? Setiap orang pasti punya kesibukan dan kehidupan masing-masing. Tidak seharusnya aku merasa dilupakan, lalu protes pada mereka dengan tidak makan berhari-hari agar mereka peduli lagi padaku. They have their own shit to do. Dan tanpa sadar, aku mengontrol mereka. Kenapa aku begitu kejam? Aku seorang pendosa.
Aku minta maaf. Aku akan menjauh dari kalian semua. Atau aku akan mengacaukan kalian. Aku adalah orang yang kacau. Dan jangan pernah berpikir untuk membantuku dengan merubahku. Itu tidak akan berhasil.
Aku takut kalian pergi meninggalkanku. Jadi sebelum kalian pergi, aku yang akan pergi terlebih dahulu. Nobody breaks my heart.

6/05/2018

Surat Terakhir

Juni 05, 2018 0 Comments

Aku minta maaf.
Terima kasih.
Dua kata itu, mengapa sulit sekali mengeluarkannya dari kalbu?
Mengapa sulit sekali saat aku ingin menunjukkan dua kata itu?
Mengapa sulit sekali bagiku untuk meminta uluran tangan ketika aku butuh bantuan?
Mengapa semakin ku lakukan itu, semakin aku merasa sulit bernapas?
Mengapa rasanya seperti aku malah menghancurkan diriku sendiri?
Karena itu aku membenci diriku.
Dan aku tidak tahan lagi.
Aku minta maaf dan terimakasih.
Selamat tinggal.

5/25/2018

Dear School, I hate you.

Mei 25, 2018 0 Comments

Help.
School should be a place for kids to be happy, right?
I don't know where did all go wrong, but school make me feel like a worthless piece of shit who can't do anything.
School makes me feel stupid.
School makes me feel useless.
School makes me anxious.
School makes me depressed.
School makes me hates myself.
School makes me wanting to die.
School makes me want to commit suicide.
I freaking hate school!
I don't freaking care about my score on test!
I know all the teachers who read this, probably would think like; "Idiot suicidal girl, you're going to be fail later! Study is a must!"
Oh, shut the F up!
I know that very well.
But I am only human.
I am no robot.
There's so much problem I should deal at home.
"But adult dealt with so much problem than you!", what? Seriously? I am kids, a teenager. I have a problem. And the difference between your problem and my problem is... Nothing. No difference.
I can't memory all the text in each book for test because my mind is in a freaking hurricane!
I am trying to memorize all the text, I've tried!
But I just can't.
My mind won't cooperate with me.
Negative thought are haunting me like crazy.
And the teacher wouldn't even bat an eye to see one of their student collapsing under the pressure that they put on.
Teacher would just judge, and hate the the student who fail at their class.
They don't give a shit about what actually happened to their student, who become lazy studying and fail at the test.
They just judge, hates, and kill you slowly.
Until you die by suicide,
And then they suddenly care about the truth.

4/22/2018

Menyenangkan, 'kah?

April 22, 2018 1 Comments

I think I have a stalker.
Awalnya kupikir hanya perasaanku saja atau aku yang mendramatisir sesuatu, tetapi kemarin temanku bercerita sesuatu padaku. Saat itu aku dan temanku sedang duduk di luar kelas menikmati jam kosong, kami bercerita tentang banyak hal. Dan tanpa sengaja, obrolan kami mendadak berubah arah ke jaman dimana kami pertama saling mengenal satu sama lain.
"Hihi, dulu sebenernya aku takut sama kamu soalnya wajahmu kayak mengintimidasiku gitu. Ternyata ga juga, kekeke" aku berceloteh. Temanku tertawa kecil, kemudian ia berucap, "Dulu aku awalnya cemburu sama kamu lho, Lav".
Kedua alisku hampir menyatu, aku bingung."Hah? Cemburu kenapa?".
Ia bilang, "Dulu aku sering liat malam (nama samaran) sering ngeliatin kamu. Aku pikir, 'oh jadi ini toh cewek yang lagi deket sama malam'. Tapi saat aku liat kamunya, kamu ga ngeliatin malam balik. Jadi aku bersyukur, sih. Kupikir kalian dekat, ternyata enggak".
Aku mendadak teringat sesuatu, jujur aku sering merasa diawasi saat di kelas. Dan ketika kulihat ke sekitar, malam selalu ada di jarak mata pandangku. Tapi ia selalu sibuk dengan hal lain. Jadi kupikir itu hanya perasaanku saja.
Banyak sekali kejadian dimana aku curiga dengan malam, namun kuanggap angin lalu. Kupikir mungkin aku keGRan, jadi kuabaikan saja. Tapi sering kali jika aku bercerita atau curhat kepada salah satu temanku, malam selalu ada di jarak yang radiusnya lumayan dekat dari temanku dan aku yang sedang bertukar cerita.
Pernah saat itu aku bercerita tentang kehidupan masa laluku pada seorang teman. Ceritaku lumayan dark dan tidak seharusnya ada orang lain yang mendengar karena hal itu merupakan rahasia terbesar dalam hidupku. Saat itu aku curhat pada temanku. Posisiku dan temanku bersampingan, karena kami duduk sebangku. Temanku di sisi sebelah kiri, dan aku di sisi sebelah kanan.
"Dulu saat aku kecil, aku ...blablabla... makanya kamu lihat 'kan jika aku sedikit berbeda dari teman-teman? Hal itulah yang membuatku jadi pendiam seperti sekarang ini. Dulu aku sama seperti anak-anak lain, ceria dan terbuka. Sekarang kebalikannya, itu semua karena tadi yang ku ceritakan padamu," aku bercerita seperti biasa dan temanku memberi banyak saran, ia juga mengkasihaniku. Tapi kemudian wajah kasihannya berubah ketika tatapannya tidak kepadaku lagi, melainkan tatapannya ke arah belakangku.
Wajahnya sedikit kaget, "malam, ngapain liat-liat?". Segera ku lihat ke belakangku, dan kudapati malam duduk di bangku sebelah kananku. Ia menundukkan pandangannya, dan langsung menyibukkan diri dengan menulis sesuatu di kertas sambil berkata, "Apa, sih? Siapa juga yang ngeliatin?".
Akupun menolehkan kepalaku ke temanku kembali, "Ada apa?". Tapi temanku hanya menjawab dengan gelengan dan tersenyum manis, "Tidak ada apa-apa. Sampai mana kita tadi?" lanjutnya. Aku yakin, pasti malam telah mendengar curhatanku. Aku pun melanjutkan curhatanku, namun dengan suara amat pelan.
Sejak awal semester pertama aku duduk di kelas 11, hingga sekarang dimana semester kedua hampir berakhir, aku selalu merasa diawasi. Dan malam selalu ada di sekitar pandanganku ketika aku mencoba mengamati sekitar. Ini membuatku menjadi hati-hati dalam bersikap ataupun saat ingin curhat pada temanku.
Sumpah, aku ingin bertanya pada malam, mengkonfrontasikan rasa penasaranku. Tentang alasan mengapa ia memata-mataiku secara diam-diam seperti itu, tapi aku tidak bisa. Aku malu, aku takut jika ternyata dugaanku salah dan aku hanya GR. Tapi dengan semua omongan kedua temanku yang bisa kujadikan bukti itu, aku bisa saja menggunakan hal tersebut. Namun aku tidak mau mempermalukan dia.
Bintang itu termasuk laki-laki yang pandai di kelasku. Aku tidak mau menjadi jahat, aku tidak mau merusak hidupnya dengan mengkonfrontasikan apa yang ia lakukan padaku. Ia punya reputasi bagus, dan sebenarnya ia adalah orang yang baik. Ia peduli dengan teman-temannya, dan teman-temannyapun peduli padanya. Bagaimana bisa aku merusak hal tersebut?
Sebenarnya kami memiliki sedikit kesamaan. Dia sedikit pendiam dan tertutup, hampir sama sepertiku. Tapi ia lebih terbuka daripada aku. Ia masih bisa melontarkan candaan pada temannya-temannya, sedangkan aku tidak. Aku tidak bisa melontarkan candaan, selalu temanku yang lain yang melontarkan candaan. Aku hanya menerima dengan tertawa.
Untuk malam,
Aku hanya berharap, jika saja kamu selama ini memata-mataiku. Dan jika mungkin saja kamu sudah mengetahui blogku lalu membaca ini, tolong berhentilah. Kamu pikir rasanya dimata-matai itu enak, 'kah? Apakah kamu pikir itu menyenangkan?
Biar kuberitahu, rasanya tidak enak sama sekali. Itu mengusik kenyamananku, itu menghancurkan privasiku. Aku jadi tidak bisa leluasa bercerita pada temanku, kecuali jika aku seratus persen yakin kamu tidak ada di sekitarku. Tolong, berilah alasan mengapa kamu memata-mataiku. Apakah kamu penasaran tentang hidupku? Jika iya, kenapa tidak langsung bertanya padaku? Apa kamu menemukan kesamaan di kehidupanku di kehidupanmu? Apakah kamu pernah tidak sengaja mendengar curhatanku, lalu kamu merasa bahwa kamupun merasakan apa yang kurasa dan jadi ingin tahu lebih jauh?
Kamu pikir aku tidak tahu? Aku sering tidak sengaja melihat lewat refleksi sampul plastik buku, lalu kulihat bayanganmu yang melihatiku dari dalam kelas lewat jendela. Lalu saat aku hendak membalikkan badan, kamu segera menutup gorden jendela dan bertindak seolah tidak ada apa-apa. Sebenarnya, apa maumu? Aku kehilangan kebebasanku untuk curhat pada orang lain. Tolong, berhentilah. Kamu membuatku merasa was-was dan ketakutan setiap saat, itu menyiksaku. 

4/15/2018

Target Kebencian

April 15, 2018 0 Comments

Mungkin bagimu aku target yang mudah, lemah, dan mudah berpasrah diri untuk disakiti.
Bagimu aku adalah tikus percobaan yang tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali mengkasihani diri ketika akan dieksekusi untuk merasakan kematiannya.
Aku merasakan sakit hati setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik karena sikapmu padaku.
Pekerjaan sehari-harimu, bagaikan sang algojo yang dengan senang hati menyiksaku.
Mengapa engkau begitu tega?
Aku berdarah, lututku membiru, hingga sudut bibirku yang robek.
Namun kau menutup mata, memilih tidak peduli.
Karena menyiksaku adalah permainan menyenangkan di hidupmu yang membosankan, bukan?
Bibirmu dengan licik menyeringai, sambil menggiringku ke alat pemenggal kepala.
Shit, I got it. So stop it! I am the root of all this, so I'll stop myself. If my misfortune is your happiness, I'll happily stay unfortunate. If I'm the figure of hate, I'll get on the guillotine.

4/14/2018

Why?

April 14, 2018 0 Comments

Dear Diary...
It's like I don't deserve to be happy.
'Cause why the heck I always get misfortune whenever I just had temporary-happiness?
It's like I don't deserve to laugh anymore.
'Cause why the heck I always get depressed whenever I am trying to run from it?
It's like I don't deserve to smile anymore.
'Cause why the heck I always finding myself crying alone in the bathroom whenever I just felt a little happiness?
It's like I prohibited to love myself.
'Cause why the heck I always get scrutinized whenever I am trying to accept all of my flaws?
It's like I don't deserve to live, but don't deserve to die either.
'Cause why the heck my life is damned in so many ways, but it makes me scared with death even when I try to die instead?
Why the heck the world is so cruel?
Why the heck the world do this to a little human like me?
Why the heck the world execute me without a little agony?
Why the heck the world imprisoned me but consuming me with no food but poison?
Why the heck did the world didn't even bat an eye to recognize I am dying piece by piece?
I am tired.
I just want to sleep,
But not wake up anymore,
But it's for-ever.

3/29/2018

How to Save a Life

Maret 29, 2018 0 Comments
How to Save a Life (by: Lavida)
"Tsk, siapa peduli dengan tugas Pak Kim bodoh itu? Nilai tidak akan berpengaruh pada masa depanku!" seorang pemuda menggerutu di atas balkon sekolah
"Tsk, siapa peduli dengan tugas Pak Kim bodoh itu? Nilai tidak akan berpengaruh pada masa depanku!" seorang pemuda menggerutu di atas balkon sekolah. Suaranya serak, di jari telunjuk dan jari tengahnya mengapit sebuah puntung rokok. Ia mendekatkan rokok itu ke bibirnya. Kemudian ia hisap rokok itu dalam-dalam sampai paru-parunya terasa hangat sempurna. Setelah itu, ia hembuskan napasnya perlahan, melihat bagaimana asap abu-abu mulai mengepul di depan matanya membuatnya merasa hangat. Ia ingin tenang. Barusan saja ia dikeluarkan dari kelas karena tidak mengerjakan tugas dari guru Fisikanya. Jika ditelisik lebih jauh, memang dialah yang bersalah karena beralasan malas ketika ditanya alasan tidak mengerjakan tugas oleh gurunya.
 Jika ditelisik lebih jauh, memang dialah yang bersalah karena beralasan malas ketika ditanya alasan tidak mengerjakan tugas oleh gurunya
Pemuda itu bernama Jeon Jungkook, biasa dipanggil Jungkook. Ia punya wajah yang polos seperti balita lima tahun. Ditambah dengan seragamnya yang kebesaran, membuat tubuhnya semakin terlihat mungil. Tapi dibalik wajah tampan itu, ada monster mengerikan yang bersemayam di dalam dirinya. Dibalik seragam yang membuatnya terlihat lucu itu, terdapat banyak tato atau luka memar di tubuhnya. Belum lagi fakta bahwa ia sedang merokok sambil membolos pelajaran di balkon sekolah, Jungkook jelas bukanlah siswa baik-baik. Ia urakan dan nakal. Ia sering mencari permasalahan dengan murid lain, bahkan guru. Entah masalahnya apa, yang pasti ia seperti tidak peduli pada apapun. Pada hidupnya, atau bahkan hidup orang lain. Singkatnya, Jungkook adalah orang yang kacau.
                Jungkook sedang menghisap rokok untuk yang kedua kalinya, kemudian menghembuskan napasnya perlahan
Jungkook sedang menghisap rokok untuk yang kedua kalinya, kemudian menghembuskan napasnya perlahan. Ia pejamkan kedua matanya, menikmati semilir angin yang melewati tubuhnya. Ia merasakan bagaimana hawa dingin berhembus ke sela-sela rambutnya yang acak-acakan. Jungkook merasakan ketenangan, hal yang tidak pernah bisa ia rasakan ketika ia di kelas ataupun di rumah. Balkon sekolah adalah tempat favoritnya. Tempat dimana ia sendirian, tanpa seorangpun mengganggu. Tapi sayangnya, belum sempat ia bercinta-ria dengan kesendiriannya lebih lama, sebuah suara mengganggu.
"Jeon Jungkook!" suara baritone segera menyapa indra telinga Jungkook. Jungkook yang tadinya membelakangi arah suara memutuskan untuk menghadapkan tubuhnya ke asal suara tadi. Tangannya yang tadinya terangkat ia turunkan. Jungkook merasakan hawa tidak mengenakkan. Jungkook hapal suara itu, suara si Ketua Kelasnya sekaligus Ketua OSIS sekolahnya. Kim Taehyung, siswa berprestasi kesayangan guru yang suka sekali mengganggu ketenangan siswa berandal. Seperti Jungkook contohnya.
                Jungkook memutar bola matanya malas ketika melihat Taehyung mulai berjalan mendekatinya
Jungkook memutar bola matanya malas ketika melihat Taehyung mulai berjalan mendekatinya. "Apa?" tanya Jungkook malas. Taehyung tersenyum miring, bibir kanannya terangkat sedikit.
"Kau dicari Pak Kim, 'tuh. Dia kebingungan mencarimu dimana. Dengar-dengar ia akan menghukummu." jawab Taehyung datar.
"Aku tidak peduli," balas Jungkook tak acuh. Setelahnya, Jungkook menghisap rokoknya lagi. Lalu dengan sengaja ia hembuskan asap rokok itu ke wajah Taehyung.
Taehyung menutup rapat matanya karena merasa panas akibat asap rokok Jungkook. "Uhuk... Uhukk..." ia terbatuk kecil sembari mengibas-ngibaskan tangannya. "Hey! Kau mau aku laporkan kepada kepala sekolah bahwa kau merokok, ditambah bolos pelajaran, ditambah tidak merapikan seragam, huh? Aku bisa membuatmu dikeluarkan dari sekolah! Poinmu sudah banyak!" Taehyung mendelikkan matanya tajam pada Jungkook.
Jungkook tertawa kecil, tawanya terdengar meremehkan. "Silahkan saja. Aku 'kan sudah bilang; Aku... tidak... pe-du-li." ucap Jungkook dengan tekanan di tiap kata. Kemudian ia menghisap puntung rokok di tangannya. Rahang Taehyung mengeras melihat kelakuan Jungkook.
Taehyung mendecak, tangannya melayang ke atas hendak memukul tengkuk laki-laki sebaya kurang ajar yang ada dihadapannya ini. Namun ia urungkan ketika melihat Jungkook meletakkan kedua tangannya di atas kepala, hendak melindungi diri. "Bodoh, bagaimana bisa aku rela hati mengeluarkan sahabatku sendiri dari sekolah ini?" Taehyung merubah tangannya dari yang hendak memukul kemudian menyodorkan tangannya ke depan wajah Jungkook. Membuat Jungkook membuka mata dan melihat di tangan Taehyung terdapat hansaplast. Jungkook mengambil hansaplast itu dari tangan Taehyung.
Jungkook terkenal di sekolahnya sebagai siswa berandalan yang tidak tahu sopan-santun. Semua siswa merendahkannya, tapi juga takut padanya. Jungkook sering berkelahi dengan siswa lain, namun Jungkook selalu menang. Itulah mengapa semua orang begitu takut, kecuali Taehyung.
Ketika siswa lain melihat kedekatan Taehyung dan Jungkook, mereka akan berbisik-bisik. Seperti misalnya, "Bagaimana bisa siswa sempurna seperti Kim Taehyung dekat-dekat dengan sampah busuk seperti Jeon Jungkook? Apa Taehyung tidak jijik?". Jungkook pernah mendengar itu sekali ketika ia berjalan melewati lorong sekolah menuju kantin bersama Taehyung. Taehyung juga mendengarnya. Jungkook hanya diam, tidak peduli. Ia sudah mati rasa dengan kebencian, emosinya sudah benar-benar mati. Tapi tidak dengan Taehyung, ia tidak bisa diam begitu saja. Taehyung pun membalas, "Tahu apa kau tentang sahabatku? Jika tidak tahu apa-apa, jangan sok tahu ya. Tolong, berkacalah. Lebih menjijikkan mana, orang yang diam saja ketika ia dihina atau orang yang menghina orang tersebut?". Ceplosan Taehyung membuat banyak siswa di lorong yang mendengar menjadi terdiam. Mereka sangat menghormati Taehyung. Ketika mereka mendengar ucapan itu dari Taehyung, mereka syok. Taehyung membela Jungkook, bagi mereka itu adalah sebuah kesalahan. Tapi mereka tidak bisa apa-apa dan hanya bisa diam. Lagipula Taehyung juga tidak salah.
"Kau sedang ada masalah apa, hm? Jika kau mulai bertindak seenaknya seperti ini, pasti ada masalah di rumahmu, ya? Apalagi sampai kau sengaja melanggar aturan agar bisa dikeluarkan kelas karena ingin menyendiri di balkon. Pasti masalah yang kau hadapi ini berat. Cerita sini padaku. Akan ku dengarkan," Taehyung duduk di samping Jungkook, lalu melihat ke depan dimana bisa ia lihat langit biru berhiaskan awan putih bak kapas. Jungkook dan Taehyung duduk bersampingan di atas balkon sekolah. Jungkook menatapi wajah Taehyung lamat-lamat selama beberapa detik, kemudian ia menunduk dan tersenyum.
"Kenapa kau menatapi wajahku seperti itu lalu tersenyum sendiri? Kau naksir aku, ya?" ujar Taehyung tanpa melihat Jungkook, tatapannya masih fokus ke depan. Tapi Taehyung tersenyum lebar-lebar, sebuah senyuman jahil. Jungkook kelabakan, ia pikir Taehyung tidak sadar ia pandangi. Ia salah tingkah sendiri, namun ia tetap berusaha untuk terlihat tenang.
"Gila kau! Aku? Suka padamu? Haha, jangan mimpi kau." Jungkook mendecih, kemudian ia menghirup rokoknya lagi. Hisapannya kali ini lebih kuat daripada sebelumnya, tanda-tanda bahwa ia gugup.
Sedangkan Taehyung, ia tersenyum tipis sambil tetap menatapi langit. "Jika kau ada masalah, cerita padaku, Kook. Aku akan membantu sebisaku. Ingat, aku ini temanmu" ucap Taehyung pelan lalu menolehkan kepalanya ke arah Jungkook yang sibuk menghisap rokok.
Jungkook tersenyum tipis, "As expected, Kim Taehyung Si Yang Bisa Diandalkan. Kau selalu tahu apapun tentangku, bahkan tentang semua orang yang kau kenal. Tidak salah jika banyak yang mengagumimu," –tapi membenci orang bertipe sampah masyarakat sepertiku, lanjut Jungkook dalam hati. Jungkook menghisap rokoknya lagi. Matanya sampai memerah karena ia terlalu kuat menghisap rokoknya.
"Kau ini. Aku tanya apa, jawabmu apa. Kau jangan menyelewengkan pembicaraan, dong!" Taehyung tidak terima.
Jungkook tertawa kecil, "Baiklah-baiklah. Aku akan cerita." kemudian Jungkook menatapi langit biru di atasnya.
"Seperti biasalah, Tae. Kau tahu pacar ibuku yang selalu menginap di rumahku dan ibuku 'kan? Kemarin ia datang sambil mabuk, ia memukuli ibuku. Jelas aku tidak terima. Aku melindungi ibuku dengan memukulnya balik. Kami adu jotos. Tapi ibuku malah memarahiku dan mengusirku dari rumah. Kemarin aku tidur di rumah Zelo," Jungkook tertawa miris pada takdirnya ketika mengakhiri penjelasannya. Taehyung mengarahkan pandangannya pada Jungkook. Dari samping, bisa Taehyung lihat mata Jungkook yang berkaca-kaca. Taehyung sadar betul suara Jungkook yang bergetar di akhir, seperti menahan tangis. Taehyung juga sadar sedari tadi bahwa bagian bawah rahang kanan Jungkook sedikit membiru dan bibir Jungkook sedikit robek.
"Hey... Kook," Taehyung bingung harus menjawab apa, tapi ia putuskan untuk memanggil nama Jungkook. Jungkook menolehkan pandangannya pada Taehyung, kontak mata. Tatapan mereka seolah terkunci satu sama lain. "Apa sekarang kau tidak merasakan sakit?" lanjut Taehyung kemudian.
"Maksudmu?" Jungkook bingung, ia memiringkan kepalanya sedikit ke kanan.
Taehyung tersenyum melihat tingkah imut Jungkook, sahabatnya sedari kecil. "Itu, rahangmu. Bibirmu." Balas Taehyung sambil menunjuk bagian yang ia sebutkan.
"Ah, sudah tidak apa-apa kok." Jungkook berusaha tegar. Ia tidak menunjukkan emosi apapun, ekspresinya datar. Padahal ia sedang menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya karena kemarin ia melawan seseorang yang jauh lebih tua dan kuat daripada ia sendiri.
"Lalu nanti kau akan tidur dimana, heh?" Taehyung berusaha mencari jalan keluar dari masalah yang Jungkook hadapi.
"Entahlah. Kemarin aku tidur di rumah Zelo, tapi aku tak yakin jika hari ini aku bisa. Kemarin Zelo bilang kedua orangtuanya akan pulang hari ini. Tentu aku tidak bisa tidur di rumahnya hari ini, orangtuanya tidak akan rela membiarkan anaknya yang berprestasi berteman dengan anak nakal tak punya tujuan hidup sepertiku," jawab Jungkook miris.
"Tsk, kau ini! Pesimis sekali sih jadi manusia! Apa ibumu tidak rindu padamu? Aku yakin ia akan meneleponmu dan memintamu kembali, kok. Biasanya 'kan begitu," Taehyung sedikit kesal. Ia tidak kesal pada Jungkook, ia hanya kesal karena hidup seolah-olah begitu jahat kepada sahabatnya yang disayanginya.
Hidup Jungkook sedari kecil tidak pernah bahagia. Ketika berumur 7 tahun, orangtuanya cerai. Alasan orangtua Jungkook bercerai adalah karena ayah Jungkook selalu memukuli ibunya dan Jungkook. Sejak umur 3 tahun sampai 7 tahun, Jungkook selalu dipukuli oleh ayahnya. Di umurnya yang begitu dini, ia sudah melihat bagaimana ibunya dihantam menggunakan helm atau dipukuli dengan tongkat baseball hingga alis ibunya berdarah dan wajahnya bengkak di mana-mana oleh ayahnya. Seharusnya di umur sedini itu, ia bermain bersama teman sebayanya dan berbahagia. Tapi untuk Jungkook, Tuhan punya garis takdir berbeda. Jungkook mengalami banyak mimpi buruk yang ditakuti anak-anak sebayanya semenjak kecil. Jungkook merupakan definisi dari manusia hebat.
Ketika kedua orangtua Jungkook bercerai, ia terpaksa ikut ibunya karena keputusan pengadilan. Hak asuh Jungkook jatuh kepada ibunya, padahal ibunya tidak mengharapkan hal tersebut. Jungkook sudah menjalani kehidupan keras semenjak kecil. Ibunya tidak pernah menganggapnya ada. Jungkook benci semua orang, ia menganggap bahwa semua orang meninggalkannya. Tapi ketika semua bayangan gelap itu hendak mematikan cahaya kecil Jungkook, seseorang mengulurkan tangan. Kemudian mengajak Jungkook menuju cahaya yang lebih terang dan keluar dari pusara kegelapan hidupnya. Sosok itu adalah Kim Taehyung, ia tanpa sadar telah menyelamatkan hidup Jungkook hanya dengan mendengarkan masalah Jungkook dan mau berteman dengannya. Tidak semua pahlawan menggunakan jubah, 'bukan?
"Ibuku hanya akan menelepon jika ia butuh uang. Kau tahu 'kan aku sudah berhenti melakukan kerja part-timeku sebagai pelayan kafe? Aku sudah tidak punya uang sekarang. Sudah jelas, Ibuku membuangku." Jungkook menghisap rokoknya lagi kuat-kuat. Ia hembuskan kepulan asap dari mulutnya, ia mengeluarkan asap abu-abu itu bersamaan dengan stresnya yang menjadi kepingan-kepingan di udara lalu menghilang perlahan.
Taehyung menghela napas panjang. Ia fokuskan matanya ke rahang Jungkook yang memar, ia melihati luka itu lagi. Taehyung turut stres memikirkan Jungkook, ia ingin membantu Jungkook. Ia ingin pemuda di sampingnya ini bahagia. Menurut Taehyung, Jungkook berhak mendapatkan seluruh kebaikan di dunia ini. Jungkook sebenarnya adalah pemuda yang baik. Ia hanya tumbuh di lingkungan yang salah karena tidak ada yang menjaga dan mengajarinya hidup baik sedari kecil.
"Tidurlah di rumahku," Taehyung berucap singkat.
"Hah? Apa? Aku tidak salah dengar, 'kan? Kau lupa saat itu aku menginap di rumahmu, tapi kemudian ketahuan oleh ayahmu lalu aku ditendang jauh-jauh keesokan paginya?" Jungkook hampir tertawa.
"Aku serius! Lalu dimana lagi kau akan tinggal? Aku bisa bilang pada ayahku jika aku akan membantumu dalam belajar, sehingga kau butuh jam tambahan. Dan mau tidak mau aku harus membawamu ke rumahku. Bagaimana? Setuju?" Taehyung tidak menyerah.
Jungkook mengerutkan alisnya, sebenarnya ia tidak yakin. Namun apa salahnya mencoba, bukan? Jungkook menganggukkan kepalanya, "Baiklah."
Taehyung tersenyum penuh kemenangan, "Nah. Harusnya kau begitu dari tadi,"
"Sekarang, kau dicari Pak Kim. Kau disuruh mengepel kamar mandi sekolah nanti pulang sekolah. Tenang saja, aku akan menemanimu dan membantumu nanti." Lanjut Taehyung kemudian merangkul bahu Jungkook untuk mengajaknya beranjak dari tempat mereka duduk. Jungkook membuang puntung rokoknya, ia tersenyum pada Taehyung yang sedang menatap ke depan. Mereka berjalan beriringan sambil berangkulan.
"Terimakasih, Tae" ujar Jungkook hampir mencicit karena saking kecilnya suaranya. Ia malu hanya untuk bilang terimakasih, menurutnya itu akan membuatnya lemah. Namun ia tidak bisa menahan diri untuk mengatakan hal itu pada Taehyung, Taehyung sangat baik padanya. Dan hanya untuk sekali ini saja, biarkan Jungkook merendah di hadapan seseorang untuk pertama kalinya. Seseorang yang amat berharga dalam hidupnya. Orang yang ia sayangi, orang yang ingin ia jaga selamanya. Orang yang menjadi alasan mengapa ia terus hidup. Orang yang menjadi harapan satu-satunya ia terus berjuang di kehidupannya yang keras dan tidak menyerah. Hanya untuk Kim Taehyung.
"Ya, sama-sama. Itulah gunanya teman. I'll always got your back," balas Taehyung sambil tersenyum balik.
"Tsk, jangan gunakan Bahasa Inggris. Kau 'kan tahu ujian kemarin nilaiku 5 di Bahasa Inggris. Kau sengaja, ya?" Jungkook memutar bola matanya malas.
Taehyung terkikik, "Ups..."
***
Bel pulang telah berdering setengah jam yang lalu. Taehyung dan Jungkook kini sedang berada di depan pintu rumah Taehyung.
"Tae? Kau yakin?" Jungkook meragu. Taehyung yang ada di hadapan Jungkook mengangguk mantap, "Yap. Sangat,".
Kemudian Taehyung membuka pintu rumahnya, ia melihat ayahnya yang sedang membaca koran di ruang tamu.
"Sore, Yah" sapa Taehyung pelan. Ayah Taehyung menurunkan korannya, lalu matanya menajam ketika melihat sosok di belakang figur anaknya.
"Untuk apa anak tetangga kita yang selalu menimbulkan keributan di malam hari itu ke sini?" ayah Taehyung kembali menaikkan korannya, bersikap tidak peduli. Jungkook yang mendengar itu di belakang Taehyung mengepalkan jari-jari tangannya erat-erat. Ia sangat ingin menonjok laki-laki paruh baya itu, namun ia masih sadar bahwa orangtua menjengkelkan itu adalah orangtua sahabatnya. Ia menahan diri, ia berusaha tenang.
"Aku diamanati guru untuk memberinya les tambahan, Yah. Dia butuh bantuan belajar. Makanya aku membawanya ke sini. Tidak apa-apa 'kan, Yah?" Taehyung sedikit berhati-hati, ucapannya ia buat sehalus mungkin.
"Kau ini! Selalu aneh-aneh saja, selalu membuatku repot. Terserahmu sajalah. Tapi jika ada masalah yang timbul karena anak itu, aku tidak mau tanggung-jawab." Balas ayah Taehyung. Taehyung sedikit tersenyum.
"Tunggu, ayah ingin bertanya sesuatu tentang rapot ujianmu." Ayahnya menurunkan koran yang dibacanya. Saraf Taehyung menegang.
"Baik, Yah. Tapi biarkan ku antar Jungkook ke kamarku sebentar," jawab Taehyung kemudian hendak beranjak.
Tapi ayah Taehyung membuat langkah Taehyung terhenti, "Diam disitu, Taehyung."
"Kau, Jungkook. Kau tahu 'kan dimana kamar Taehyung? Letaknya tetap sama ketika kau pernah diam-diam menyusup ke rumahku," lanjut ayah Taehyung menyindir.
"Maaf, Kook. Kau tahu kamarku, 'kan? Duluan saja, aku masih ada urusan" ucap Taehyung lalu menatap tepat ke mata Jungkook sambil tersenyum manis. Jungkook bisa merasakan senyum itu adalah senyum palsu. Seperti senyum yang dimunculkan untuk menenangkan seseorang padahal sesuatu yang buruk akan terjadi.
Tapi Jungkook memilih untuk tidak memusingkan hal tersebut. Ia membungkukkan badannya, memberi salam penghormatan sebentar kepada ayah Taehyung. Kemudian ia berdiri tegak dan mulai menaiki tangga menuju kamar Taehyung. Jungkook tidak ingin menjawab perkataan kata-kata ayah Taehyung, ia takut akan lepas kontrol jika melakukannya.
Baru saja Jungkook hendak membuka kamar pintu Taehyung, Jungkook mendengar debuman keras dari lantai bawah. Jungkook penasaran, ia sedikit menuruni tangga namun tidak sampai benar-benar di bawah. Ia mengintip sedikit.
Mata Jungkook membelalak ketika ia melihat Taehyung tersungkur. Ayah Taehyung baru saja memukul wajah Taehyung sangat keras hingga Taehyung terjatuh kemudian menimbulkan suara debuman yang didengar Jungkook. Jungkook hendak turun dan menyelamatkan sahabatnya itu, namun ia urungkan. Ia tidak ingin menimbulkan masalah untuk Taehyung. Jadi ia hanya diam, melihati Taehyung tersiksa—secara diam-diam.
"Aku mendapatkan telepon dari sekolahmu pagi ini. Kau mendapat nilai 89 di pelajaran mengarang! Sudah ku bilang untuk mendapat skor sempurna seratus di tiap pelajaran, 'bukan?" kemudian ayah Taehyung mengambil remot. Ia lemparkan remot itu pada Taehyung dengan keras. Remot itu mengenai dahi Taehyung. Taehyung merasakan memar di dahinya. Tapi ia menahan rasa sakitnya. Jungkook melihat sudut bibir Taehyung mengeluarkan darah, sobek. Sama seperti milik Jungkook. Bedanya, Jungkook sudah hampir sembuh karena tadi sebelum membersihkan kamar mandi, ia ke UKS bersama Taehyung. Taehyung mengobati lukanya dengan salep. Membuatnya sedikit baikan. Sedangkan luka Taehyung adalah luka baru, darah mengalir dari sana.
"Jika nilaimu jelek begini, bagaimana bisa kau akan masuk ke universitas ternama pilihanku, HAH?" kemudian ayahnya menginjak-injakkan kakinya di atas kepala Taehyung. Setelah itu ayah Taehyung mengambil sabuknya. Jungkook lebih kaget lagi, ketika melihat ayah Taehyung yang mencambuki Taehyung dengan sabuk itu. Jeritan Taehyung seolah membelah hati Jungkook menjadi berkeping-keping. Jeritan pilu penuh rasa sakit. Sialnya, Jungkook hanya terdiam bagai orang bodoh.
Tapi Jungkook benar-benar sudah naik pitam, ia tidak rela sahabatnya yang ia sayangi diperlakukan seperti itu. Rahangnya mengeras kembali. Ia hendak menuruni tangga lagi, namun ia tidak sengaja tertangkap oleh Taehyung. Taehyung melihat Jungkook. Tatapan Taehyung seolah menyuruh Jungkook untuk tidak melakukan apapun.
"Lawan, Tae!" Jungkook ingin berteriak seperti itu, namun ia diam. Ia seolah menurut pada apa yang diperintah Taehyung karena tatapan Taehyung yang begitu dalam. Ia hanya meneriakkan hal tersebut dalam hati.
"Bangun!" ayah Taehyung menurunkan kakinya. Kemudian Taehyung berdiri dengan kepayahan. Taehyung menundukkan kepalanya, kedua tangannya menyilang ke bawah—posisi menjaga diri. "Jangan kau ulangi lagi! Ingat itu!" lanjut ayah Taehyung lalu dengan santainya kembali membaca koran dan menyeruput kopi di sampingnya.
"Sudah, kau boleh kembali" ujar ayah Taehyung ketika dari sudut matanya bisa melihat Taehyung yang hanya diam saja. Taehyung berusaha membungkuk sebisanya untuk memberi penghormatan. Taehyung berjalan pelan menuju ke kamarnya sambil menahan rasa sakit. Taehyung sudah sampai tangga, ia sudah dekat dengan Jungkook. Ayahnya sudah tidak bisa melihatnya lagi.
                Jungkook hendak membantu Taehyung, ia hendak memapahnya
Jungkook hendak membantu Taehyung, ia hendak memapahnya. Namun Taehyung melepaskan rangkulan Jungkook dengan kasar. Jungkook bingung, "Aku ingin membantu, Tae".
"Lepas." balas Taehyung singkat. Nadanya terdengar memaksa dan tinggi. Membuat Jungkook mau tidak mau menurutinya. Taehyung sebenarnya malu ketika ia tahu bahwa Jungkook melihatnya dipukuli seperti itu. Ia selalu berharap menjadi sosok yang kuat di depan sahabatnya agar sahabatnya bisa kuat menghadapi kehidupan. Begitu memalukan rasanya ketika dilihat sebagai kelemahan seperti sekarang.
Tapi walau Taehyung melarang Jungkook, Jungkook tetap berjalan di belakang Taehyung. Ia tetap menjaga Taehyung meski tidak secara langsung. Ia takut jika tiba-tiba Taehyung oleng. Bisa bahaya jika Taehyung jatuh, ia 'kan sedang menaiki tangga.
Akhirnya mereka berduapun sampai di dalam kamar Taehyung. Taehyung mencari saklar lampunya, kemudian ia menyalakan lampu. "Jika kau lelah, istirahatlah di kasarku sekarang. Jika kau mau ganti baju, ambil saja bajuku di lemari. Anggap saja ini rumahmu." ucap Taehyung kemudian menuju kamar mandi. Taehyung menutup pintu kamar mandi itu, tepat ketika Jungkook hendak mengejarnya.
Jungkook bingung lagi, "Tae, mana bisa aku bersikap biasa saja? Kau sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Biarkan aku membantu,". Jungkook mencoba sedikit memaksa.
"Tidak, Kook. Aku baik-baik saja, sungguh." Balas Taehyung dari dalam. Tapi tetap saja Jungkook tidak mungkin percaya. Iapun membuka pintu kamar mandi yang memang tidak terkunci. Ia melihat Taehyung yang bertelanjang dada. Di punggung Taehyung penuh luka memar keunguan. Jungkook mengernyit. Ia memang sudah biasa mendapat luka memar, namun melihat luka memar pada tubuh orang lain, apalagi sahabatnya merupakan hal yang tidak biasa baginya.
Jungkook mendapati Taehyung yang berusaha menempelkan hansaplast ke punggungnya yang terluka, namun tidak bisa. Tangan Taehyung tidak sampai meraih ke luka di punggungnya. Jungkook mendecak singkat, iapun mengambil hansaplast dari tangan Taehyung secara tiba-tiba dan menempelkannya pada luka-luka di punggung Taehyung tanpa persetujuan Taehyung. Taehyung terdiam. Sampai selesaipun, Jungkook dan Taehyung tidak berbicara sama sekali. Mereka hanya diam. Kemudian Jungkook keluar dari kamar mandi. Meninggalkan Taehyung sendirian.
Setelah selesai di kamar mandi, Taehyung keluar. Ia melihat Jungkook yang tertidur dengan baju ganti miliknya. Taehyung tersenyum singkat.
                Jam menunjukkan pukul 01
Jam menunjukkan pukul 01.46 dini hari. Suasana sepi, matahari sudah tertidur dari waktu yang lama sekali. Taehyung sedang duduk di meja belajarnya. Kemudian ia sedikit melongokkan kepalanya ke jendela di depannya, ia bisa melihat bulan yang bersinar begitu cantiknya di tengah laut malam yang gelap. Ia sudah belajar dari jam 7 malam, 14 menit lagi ia baru bisa tidur. Taehyung hendak menjawab satu soal lagi, ia hendak menuliskan rumus integral di buku matematikanya. Sampai ia terhenti karena kaget, ia merasakan deru nafas seseorang di belakangnya.
"Ya! Jeon Jungkook!" Taehyung hampir terperanjat ketika membalikkan badannya dan mendapati Jungkook yang berdiri menjulang.
Jungkook mengucek kedua bola matanya yang terasa berat, "Taehyung? Kenapa kau belum tidur, huh? Ini sudah malam."
Taehyung mengambil kursi lagi di sudut kamarnya lalu meletakkan kursi itu di sampingnya. "Duduk di sini, Kook. Jangan berdiri saja. Aku masih belajar. Kau kenapa? Tidak bisa tidur?" kemudian Taehyung kembali menuliskan rumus dan fokusnya teralihkan dari Jungkook.
Jungkook duduk di samping Taehyung, kemudian ia menggaruk lehernya yang terasa gatal. "Huh? Tapi besok 'kan hari Minggu? Untuk apa kau belajar?" tanya Jungkook setengah sadar, kesadarannya belum kembali sepenuhnya. Suaranya serak. Matanya menyipit sebelah.
"Aku harus, Kook. Ini sudah kebiasaanku," Taehyung masih sibuk menulis di bukunya. "Kau tidur saja lagi jika masih mengantuk," ucap Taehyung kemudian.
Jungkook menggeleng. Lalu ia menelungkupkan kedua tangannya di atas meja, kemudian ia letakkan pipi kanannya di atas tangannya yang tadi tertelungkup. Ia menolehkan wajahnya ke arah Taehyung, ia melihat Taehyung yang begitu fokus mengerjakan.
"Kau kenapa melihatiku seperti itu, bocah?" Taehyung bertanya tapi fokusnya masih tetap kepada buku matematikanya.
"Besok ke café yuk, Tae! Besok 'kan libur, kita senang-senang!" ajak Jungkook semangat. Ia menegakkan tubuhnya. Kesadarannya sudah mulai penuh.
"Tidak bisa. Aku sibuk, Kook. Besok ada les piano dan akting dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore di rumah." Taehyung masih fokus pada buku matematika.
"Tsk, aku yang mentraktir, deh!" Jungkook masih berusaha membujuk.
Taehyung menoleh pada Jungkook, ia tertawa sedikit, "Memang kau ada uang?".
Jungkook merasa kesal, "Kau pikir aku semiskin apa, hah? Aku juga masih punya tabungan. Aku punya rencana untuk masa depanku. Aku tidak bodoh, tahu".
Taehyung tersenyum, "Iya, percaya."
"Jadi, bagaimana? Setuju?" tanya Jungkook memastikan.
"Ya, jika kau mau menunggu dari pagi hingga jam 5 sore." Jawab Taehyung sekenanya.
Jungkook sedikit kecewa, namun ia akhirnya setuju. "Baiklah! Aku akan menunggumu,".
"Sudah jam 2 pagi, Kook. Waktunya tidur," Taehyung mulai membereskan semua peralatan belajarnya. Jungkook pun melompat ke kasur Taehyung, ia segera memejamkan matanya.
Taehyung sudah selesai beres-beres, ia menaiki kasurnya. Ia melihat Jungkook yang sudah tertidur. Ia bersyukur mempunyai sahabat seperti Jungkook yang tulus padanya. Bukan yang menjadi sahabatnya hanya karena ingin mendapat contekan ketika ujian tiba atau menjadi sahabatnya hanya karena ingin popular tertular ketenaran Taehyung.
Taehyung membaringkan tubuhnya di samping Jungkook. Taehyung melihati langit-langit kamarnya, yang ia tempeli poster bintang-bintang. Taehyung mulai bermonolog, "Terimakasih sudah mau menjadi teman terbaikku, Kook. Tanpamu entah sudah dimana aku. Mungkin aku sudah mati karena menyerah dengan hidup. Kau membuatku terus berjuang. Aku menyayangimu temanku, sahabatku, soulmateku, Jeon Jungkook" kemudian Taehyung memejamkan matanya dan mulai tidur dengan senyum yang membingkai wajahnya.
Ketika Taehyung selesai bermonolog, mata Jungkook terbuka. Sedari tadi Jungkook tidak tidur, ia mendengar semua ucapan Taehyung. Jungkook melirik ke arah kanannya, dimana ia bisa melihat wajah Taehyung yang terlelap damai.
"Seandainya kau tahu, Tae. Kau juga membuatku terus berjuang. Tanpamu, mungkin aku juga sudah mati karena menyerah dengan hidup. Aku juga menyayangimu, lebih dari yang kau tahu. Bodohnya aku begitu egois. Aku terjebak dalam masalahku sendiri, tanpa mau tahu bahwa kaupun ternyata punya masalah. Kau selalu terlihat kuat di luar. Kau selalu menyebar tawamu dengan teman-teman palsumu di sekolah. Ternyata dibalik kebahagiaan palsu yang kau sebar, kau juga punya tangis yang pendam dalam-dalam. Tapi kini aku sudah tahu. Jadi mulai sekarang, aku juga akan menjagamu. Seperti kau yang selama ini selalu menjagaku, berada di sisiku, ketika seolah dunia ingin membakarku agar aku menjadi abu dan hilang. Aku akan selalu ada untukmu. I'll always got your back too, Tae" ujar Jungkook dalam hati sambil mengamati wajah Taehyung lamat-lamat. Kemudian Jungkook pun turut tertidur sambil tersenyum, menunggu dijemput alam mimpi.
END
P.S : AKHIRNYAAAAAAAA! AKU BISA UPDATE JUGA. Maaf ya baru bisa updatehiks. Tugas sekolah banyak banget, sumpah. Rasanya aku pingin mati aja :')
Sekarang aku udah kelas 11, semester genap. Sebentar lagi aku bakal kelas 12. Aku harus benar-benar ngeprioritasin sekolah, jadi maaf banget ya yang udah lama nunggu updatean. Padahal harusnya aku janjiin beberapa hari yang lalu, tapi malah baru bisa kuupdate sekarang. Sumpah, maaf banget.
Aku juga sudah ambil kerja part-time di sebuah tempat bimbingan belajar dekat rumah. Aku ngajar anak kelas 2 dan 3 SD, hehehe. Tiap hari Minggu sampai hari Kamis. Dari jam 3 sore (pulang sekolah) sampai jam 5 sore. Terus jam 5 sore sampai entah jam berapa (kadang sampai jam 3 pagi), akan selalu aku gunain untuk belajar dan ngerjain tugas. Hari Jum'at free sih, tapi kadang juga aku gunain untuk ngerjain tugas (nyicil). Hari Sabtu aku disibukkin dengan kesibukan ekstra; rapat, tugas ekstra, dan blablabla. Aku jarang punya waktu freeFangirlingan BTS juga jadi jarang, hue kangen banget sama Bangtan! Tapi gimana lagi? Hidup benar-benar ngetes aku sekarang ini.
Ini aja aku nulis ditengah aku lagi ngerjain tugas. Pas ngerjain tugas aku terus-terusan kepikiran sama wattpad yang ga kunjung aku update. Akhirnya aku mutusin untuk nulis, apalagi pikiranku penuh sama ide. Pikiranku kalau udah penuh ide gitu harus cepet-cepet dikeluarin, ntar kalo kelamaan bisa hilang karena lupa dan aku akan stres sendiri. Alhamdullillah deh setidaknya ini kelar. Ini udah jam set 12 malem. Aku masih ada tugas ngerjain 3 LKS. Tapi tenang aja, aku masih bakal update kok. Mungkin jadi kurang rajin aja, sih. Huhuhu, maaf ya. Aku harap kalian ga kecewa.
Btw, kalian ngerti 'kan maksud dari cerita ini apa? Iya, jadilah pahlawan bagi orang lain dengan membantu dan berbuat baik. Entah kebaikan itu sekecil apapun, pasti akan berarti. Siapa yang tahu mungkin kamu telah menyelamatkan hidup seseorang dengan melakukan itu?
Oh ya! Ingatlah, kamu itu berharga. Manusia terhebat, asalkan kamu mampu mengasah potensimu. Aku sayang kalian semua, pembacaku. Kalian adalah orang-orang hebat. Jangan pernah menyerah, ya? Mungkin ada beberapa dari kalian yang berpikir, "Ah. Kamu enak bilang gitu karena ga ngerasain,". Kalian salah. Aku juga ngerasain bagaimana hidupku begitu di bawah. Tapi aku ga mau nyerah, karena ada orang yang sangat ingin melihatku jatuh bahkan ia rela bayar orang agar aku jatuh. Tapi aku tetap berdiri tegap di atas kedua kakiku dengan senyuman, walaupun banyak goresan luka di sana-sini. Aku tidak akan ngebiarin orang lain berdansa di atas tangisku.
Kalian juga sama. Kalian pasti bisa menghadapi masalah kehidupan di dunia fana ini. Jika terasa sangat susah, berdoalah. Mengadulah pada Tuhanmu. Itu akan sedikit membuatmu tenang. Selalu ingat kata-kataku, kamu itu hebat. Orang yang kamu lihat di kaca itu sudah sempurna. Orang yang terkuat yang pernah kamu temui. Dia orang yang bisa membawa kebahagiaan sejati ketika kamu mencintainya. Tersenyumlah, nikmatilah bagaimana cantik/tampannya wajahmu ketika melakukan itu. SEMANGAT!

3/20/2018

Bersyukurlah

Maret 20, 2018 0 Comments

Bersyukurlah - Lav
Berlempar-tatap dengan refleksi,
Menitikkan air mata akibat jerawat yang terdeteksi,
Tertawa paksa sembari mempoles untuk menutupi.
"Mengapa wajahku seperti binatang?"
Menatap tajam ke bawah pada angka,
Pertambahan mengerikan membuat diri tercengang,
Menyerapahi para gelambir yang membuat gila.
"Mengapa aku makan seperti binatang?"
Refleksi balik menatap,
Hidung bangir yang diidamkan,
Kulit putih bak boneka porselen.
"Mengapa mereka bilang aku palsu?"
Menatap lemah ke bawah pada angka,
Pengurangan dari hari ke hari yang sudah biasa,
Membuat diri hanya bisa berpasrah.
"Mengapa aku seperti tulang-belulang?"
Hey, pembacaku...
Berhentilah mengutuk dirimu sendiri.
Dunialah yang seperti binatang.
Yang membuat standar kecantikan busuk.
Mengapa pula dirimu harus peduli?
Tidakkah kau lihat bagaimana cantik matamu?
Tidakkah kau lihat bagaimana indah bibirmu?
Atau seluruh wajahmu yang sempurna itu?
Lihatlah bagaimana mata itu,
berkedip perlahan, terpana pada dunia.
Lihatlah bagaimana bibir itu,
mengeluarkan harmoni perkata.
Dengarlah bisikkan para pelihat kegelapan abadi,
Mereka rela bersujud di kaki hanya untuk bisa melihat dunia.
Dengarlah jeritan para pembicara kalbu,
Mereka rela menjual jiwanya hanya untuk bisa bicara.
Bagai kupu-kupu,
Yang tidak bisa melihat sayap indahnya sendiri,
Yang tidak bisa melihat betapa cantiknya diri mereka sendiri,
Di saat orang lain bisa melihat bagaimana sayapnya terkepak indah.