Aku Rindu Kamu, Wahai Kawan Lamaku
Dear Hujan... Bolehkah aku menumpahkan segala kepahitan hidupku padamu? Banyak sekali yang telah terjadi ketika kamu tidak di sisiku. Tolong, guyur aku, bersihkan aku dari segala kemalangan yang menempel pada tubuhku ini. Kemarin aku beradu api dengan mereka lagi. Mereka, yang membuatku menjadi manusia paling tidak berguna di muka bumi. Umpatan dan cacian yang mereka keluarkan telah menarik pelatuk di pistol pikiranku. Aku tidak kuat lagi, hujan. Jadi kuputuskan untuk pergi dari rumah neraka itu lewat pintu belakang, aku kabur. Dan kemudian kamu segera menyambutku.
Rintikan air yang perlahan memelukku, membuat pakaian dan rambutku seketika basah kuyup. Aku memeluk diriku sendiri lebih erat, berusaha menetralisir angin yang juga ikut datang untuk menemaniku. Aku berjalan mengelilingi desa, sembari menahan rasa sakit di telapak kaki karena tidak menggunakan alas kaki. Saat itu sore hari menjelang maghrib, semua orang telah masuk ke rumah mereka masing-masing. Aku sendirian, tapi kamu datang menemaniku. Kamu juga membilas air mataku yang jatuh terus-menerus. Terimakasih.
Begitu jauh aku berjalan, sampai tak terasa mataku melihat hamparan sawah di sekitar. Sambil tetap berjalan perlahan, aku menangis di hadapanmu. Aku tidak tahu aku harus kemana, tapi kedua kakiku terus bergerak maju meski tak tahu arah. Aku bingung. Tapi setidaknya, kamu berada di sisiku, hujan... ketika semua orang pergi meninggalkanku.
Awan gelap nan mendung bernyanyi untukku, nada keras petir yang marah mewakilkan hatiku yang terbakar. Namun lagi-lagi, kamu menyiram api di hatiku dengan sabar. Mendinginkan hatiku yang panas.
Kemarin kamu yang menemaniku, tadipun kamu yang menemaniku. Ketika itu, jam di ponselku menunjukkan pukul setengah delapan malam. Aku sedang terduduk manis di tengah areal tempat anak muda menghabiskan waktu. Kulihat sepasang kekasih yang bercanda tawa, kulihat kedua orangtua bergandengan tangan sambil melahap gorengan ditemani anak mereka yang bermain layang-layang. Sedangkan aku sendirian di sini, menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Ku cek satu-persatu pesan yang masuk. Ada dari si A, si B, si C, si D. Hanya pesan klise seperti, "sudah makan belum?", "lagi ngapain?", "Vid? Oy? Bales Oy! *lalu dia menelponku 100x*", "besok jadi kan ketemuan?", "hey cantik, nanti aku telpon kamu ya". Ya, mereka semua laki-laki. Sudah menembakku pula. Namun tidak sedikitpun aku menggubris mereka. Hatiku sedang dalam perasaan yang kacau. Dan aku menunggu pesan dari seseorang, tapi sayang sekali, orang yang kutunggu malah orang yang tidak peduli padaku. Kelihatannya mungkin seolah aku pamer karena disukai beberapa lelaki, ya? Bukan itu maksudku. Aku juga bukannya tidak bersyukur atau apa. Tapi hal-hal percintaan menurutku hanyalah kesenangan di awal berujung penyesalan di akhir. Dan aku tidak ingin penyesalan. Hidupku sudah mempunyai banyak penyesalan, aku tidak mau menambah beban.
Jadi, kukeluarkan alat bahagia sementaraku beserta sahabatnya (pemantik) dari tas. Aku memberinya nyawa lalu kumasukkan ia ke dalam paru-paru sampai seluruh hatiku terisi hangatnya untuk sementara waktu. Kupejamkan mata, menikmati sementara di dalam tubuhku yang terasa hangat. Lalu perlahan-lahan ku keluarkan ia dari bibirku, memberinya raga abu yang terlihat namun juga hanya untuk sementara. Aku tenang, rasa sedih di hatiku menghilang. Dan akupun bahagia, untuk sementara waktu.
Kemudian kamu pun datang kembali, hujan. Menjemputku yang main dengan teman lainku sampai lupa waktu, berusaha mengingatkanku, seolah seperti ibu. Airmu membuat alat bahagia sementaraku mati. Dan mau tak mau aku harus berhenti kemudian berteduh jika tak ingin terkena amarah airmu yang bisa membuatku menggigil kedinginan. Aku berpindah ke bawah pohon rindang yang tenang, yang melindungiku saat kamu marah. Maaf membuatmu kecewa, hujan. Kumohon maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi, aku janji. Tapi jangan pergi. Tetaplah di sisiku, menemaniku dikala sepi—bukannya memberi badai parah kepada hatiku yang telah porak-poranda. Aku mencintaimu, hujan. Terimakasih sudah menjagaku. Aku akan berubah, jadi tolong jangan tinggalkan aku.