Follow Me @lavidaqalbi

10/18/2019

Why is everything so heavy?

Oktober 18, 2019 1 Comments
Sudah lama sekali aku tak pernah membuka blog ini sampai sudah usang dan berdebu. Well, kini aku tinggal di Malang. Menjalani kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswa baru di salah satu universitas di kota bunga tersebut. Hawa dingin tiap pagi yang membuat kulitku meremang. Membuatku ingin terus selalu menceruk di bawah selimut. Tapi dengan paksa, kucoba membangunkan diri sendiri dan pergi ke kamar mandi untuk bersiap-siap.
Kalender sudah memberiku peringatan bahwa ini bulan Oktober. Seharusnya hujan sudah datang sejak Agustus akhir, namun tidak juga kunjung datang. Aku rindu menangis di tengah hujan supaya tidak ada seorangpun yang tahu. Tapi sepertinya, aku hanya bisa menangis di kamar mandi sendirian untuk sementara waktu ini.
Beberapa teman SMAku bilang jam kuliah mereka hanya jam 10 pagi sampai jam 2 siang. Atau jam 3 sore sampai jam 5 sore. Sedangkan jam kuliahku bisa dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Sungguh tahun ajaran baru yang sibuk. Mungkin karena aku masuk di jurusan ilmu pendidikan, maka dari itu jam kuliahku lebih padat daripada jam kuliah teman-teman lain yang memiliki jurusan ilmu murni. Tapi tak apa, meski lelah, aku menjalani segalanya dengan bahagia. Karena aku bersyukur, aku punya kesempatan berkuliah. Itu sudah cukup untukku.
Di sini, Lavida yang suicidal benar-benar sudah berubah. Aku menjadi seseorang yang selalu tersenyum, tertawa, riang, dan melakukan hal-hal konyol untuk membuat teman-teman kuliahku tertawa. Aku memiliki begitu banyak teman di sini. Berbeda ketika aku di masa SMA, apalagi ketika dulu aku benar-benar di masa depresi dan semua orang meninggalkanku.
Aku merasa bahwa semua orang memang hanya ingin melihatku bahagia. Begitu banyak orang yang suka berada di dekatku sekarang, karena aku mempunyai energi positif yang terus melimpah ruah. Mereka ingin tertular positive vibe yang kumiliki.
Secara tiba-tiba dengan ajaib, aku bisa begitu mudahnya menjadi baik-baik saja, menjadi bahagia. Secara ajaib, tiba-tiba aku yang dulu depresi, tak memiliki harapan, dan sudah mencoba bunuh diri berkali-kali, menjadi seseorang yang selalu tersenyum dan hanya tertawa.
"Kamu kok selalu senyum sih Lav?"
"Lav, rahasia supaya selalu kuat senyum itu gimana? Kadang aku capek dan ngga bisa ngontrol ekspresi wajahku yang capek jadi keliatan dan orang ngira aku judes,"
"Di semua foto-foto candidmu yang diambil anak-anak, kamu selalu senyum ya"
"You're so positive, I like it"
"Aku pingin kayak kamu, Lav. Bahagia terus keliatannya"
Bagaimana bisa? Apa rahasianya?
Karena aku sudah mengalami dan merasakan kerasnya realita bahwa semua orang tak peduli pada alasan-alasan dibalik tindakanku, yang semua orang inginkan hanyalah supaya aku tersenyum. Bahkan ketika aku ada masalah, ketika fase depresiku kambuh, ketika beberapa menit yang lalu aku menangis, semua hanya ingin melihatku tersenyum. Jika aku menunjukkan sedikit saja gejala depresiku, orang akan menjauh lagi. Jujur, rasanya sangat menyakitkan. Aku benar-benar kesepian, seperti tidak ada yang peduli padaku. Kupikir aku sudah melawan mental illness yang kuderita. Ternyata tidak.
Saat kelas 12, aku didiagnosa psikiater bahwa aku terkena Bipolar Tipe 2. Dan psikiater tersebut bilang bahwa, "Bipolar akan selamanya ada di hidup penderitanya. Bipolar tidak bisa disembuhkan. Jika hanya depresi, dengan beberapa treatment bisa sembuh. Tapi bipolar tidak bisa," katanya begitu. Dalam hati, aku dongkol. Aku sudah benci didiagnosa bahwa aku mempunyai mental illness dan perkataan pesimis dari psikiaternya membuat moodku semakin hancur. Aku tidak suka psikiater tersebut, ia semakin membuatku tambah down. Dulu juga aku harus meminum obat bipolar untuk mood stabilizer, nama obatnya Depakote ER. Rasanya tidak pahit, namun ukurannya sangat besar. Mahal pula. Setiap hari sebelum berangkat sekolah dan saat mau tidur, ibuku selalu mengingatkanku untuk meminumnya. Namun aku tidak suka. Dulu aku sangat benci fakta bahwa aku begitu lemah karena mempunyai mental illness. Aku tidak rela, aku merasa aku tidak sakit. Begitu memalukan rasanya.
Saat meminum obat itu rasanya aku seperti zombie. Pikiranku begitu statis. Susah berkonsentrasi. Rasanya sangatlah kosong, hampa.
Akhirnya setelah obatnya habis, aku memutuskan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan tersebut dan berjanji pada diri sendiri bahwa aku bisa melawan penyakit ini dengan caraku sendiri. Juga, aku berusaha membuktikan bahwa bipolar bisa hilang.
Saat aku dalam fase depresi, aku akan  mengurung diriku sendiri di kamar dan menjauh dari orang-orang. Aku takut aku akan menyakiti diriku sendiri dan orang lain. Dalam fase depresi, perlu kalian tahu bahwa di fase inilah yang paling berbahaya karena pikiran-pikiran untuk bunuh diri sering muncul. Maka dari itu, aku mengurung diri dan memilih untuk tidur atau melihat video-video lucu di YouTube.
Saat aku dalam fase mania, aku begitu bahagia. Energiku seperti tidak pernah habis. Di pikiranku muncul ide-ide gila yang tidak berguna. Aku berbicara pada semua teman sekelas ku satu persatu. Aku jalan kaki dari gerbang depan sampai gerbang belakang bolak-balik 4x tanpa lelah. Aku boros dan tidak berpikir panjang saat menghabiskan uang (impulsif). Aku tidak butuh tidur, bahkan bisa belajar 2 hari terus-menerus tanpa tidur di meja belajar dengan kepala tertunduk karena hanya fokus dengan buku. Aku menyiasati fase ini dengan lari-lari keliling sampai aku lelah dan bisa tidur. Bagaimanapun caranya, aku harus tidur.
Di fase mania, aku begitu bahagia. Kupikir aku sudah mengalahkan bipolar. Aku sombong, berbangga diri.
Tapi ternyata, aku salah. Kupikir aku sudah baik-baik saja. Ternyata saat itu aku hanya dalam mania. Ketika fase depresi muncul, semua pikiran negatif itu muncul lagi. Tiap detiknya begitu menyakitkan. Aku hanya ingin menangis.
Tapi tidak ada seorangpun yang tahu. Kini aku sudah menjadi aktor yang hebat. Aku sudah terbiasa menahan rasa sakit sendirian, menahan air mata supaya tidak jatuh, tersenyum bahkan ketika pikiran-pikiran bunuh diri itu menjerit.
Aku akan selalu tersenyum mulai sekarang. Dengan ajaibnya, seolah aku berhasil mengalahkan bipolar yang didaku penyakit seumur hidup itu. Aku akan menahan segalanya sendirian, aku tidak mau orang-orang meninggalkanku lagi jika mereka tahu.
Tentu, terkadang ada waktu dimana aku lelah berpura-pura. Beberapa pil obat sudah ada di genggamanku, namun segera kutepis pikiran anehku. Kubuang obat itu jauh-jauh. Kucoba tidur. Kucoba untuk mengerjakan tugas. Kucoba untuk memanipulasi otak bahwa aku baik-baik saja dengan tertawa dan melakukan pekerjaan sehari-hari.
Beberapa hari yang lalu, anggota f(x) bunuh diri dengan menggantung dirinya di apartemen. Aku segera melihat Instagramnya. Kuekspektasikan rasa bela sungkawa, namun yang kutemukan adalah cacian.
"Kamu harusnya mati lebih cepat"
"Ya, benar. Lebih baik kau mati daripada hanya menjadi sampah"
"Dia selalu ingin menjadi pusat perhatian. Bahkan saat mati. Dia bilang dia depresi kan? Dasar orang gila,"
"J*lang sepertinya memang pantas untuk mati."
Jahat sekali. Anehnya, aku membaca komentar-komentar itu seperti ditujukan pula padaku.
Kasus Sulli membuatku teringat diriku di masa lalu ketika berusaha melakukan bunuh diri. Sebenarnya, kasus-kasus seperti ini membuat orang-orang dengan mental illness jadi triggered.
Untuk orang-orang awam, biar kuberi perspektif ku tentang apa yang Sulli rasakan sebelum memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Memang kami bisa terlihat begitu bahagia ketika tadi pagi bersamamu. Tertawa tanpa beban. Melakukan hal-hal konyol dan terlihat begitu bahagia. Namun ketika sorenya, kami berpisah. Kembali ke rumah masing-masing. Ke kamar, sendirian.
Di waktu inilah, monster di pikiran kami akan menjerit-jerit. Mereka menyuruh kami untuk membunuh diri sendiri, menyakiti diri sendiri. Monster itu bilang tidak ada yang peduli pada kami, tidak ada yang sayang.
Pasti Sulli merasakan itu. Ia membuka ponselnya, semua notifikasi yang ia dapatkan adalah dari pembencinya. Ejekan-ejekan yang selamanya akan membekas dalam hatinya. Ia pernah mencoba meminta tolong. Dengan bilang pada agensinya, tapi tidak ada yang peduli. Sulli sering menangis di live Instagramnya tapi kebanyakan orang melabelinya attention seekers. Orang kira dia hanya mabuk. Padahal semua yang ia lakukan adalah a cry for help.
Kini apa yang dikatakan monster tersebut memang benar bagi Sulli. Yang dikatakan monster itu adalah fakta, bahwa semua orang membencinya. Semua orang lebih bahagia jika ia mati. Tidak ada yang peduli padanya. Ia sendirian, kesepian. Pikirannya kalut, sudah tidak bisa berpikir logis.
Maka saat itu, ia menggeret salah satu kursi di meja makannya. Ia mencari tali kemudian mentalinya di langit-langit rumah. Ia menangis seorang diri di apartemennya. Membenci dirinya sendiri. Kemudian ia naik ke kursi tersebut. Memasukkan kepalanya ke dalam tali, lalu mengeratkan tali itu di lehernya. Untuk terakhir kalinya, ia mengecek ponselnya. Notifikasinya hanya berisi komentar-komentar jahat. Sullipun mematikan ponselnya, dengan sekali hentakan, ia menendang kursi yang ia pijaki. Ikatan di lehernya semakin mengerat. Ia bergelantungan di langit-langit. Kedua kakinya berpencal tanpa arah. Lehernya begitu sakit. Ia butuh oksigen namun sudah terlambat. Tali itu hanya semakin berubah erat. Dan akhirnya tubuhnya melemas, kulitnya perlahan menjadi ungu. Sullipun meninggal, sendirian.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku bilang aku lelah, tapi tidak ada yang mendengarkan ku. Aku merasa aku sendirian," — Sulli.
Saat kasus tersebut muncul, ada salah satu teman yang menanyaiku tentang pendapatku. Ia menyuruhku berjanji untuk tidak melakukan apa yang Sulli lakukan. Maka aku pun berjanji, "Janji yang ingin kubuat adalah aku akan berada di sini, sampai waktu yang lama. Aku tidak akan pergi jauh dan aku akan membuat orang-orang yang kusayangi bahagia dan diriku bahagia".
Memang, bipolar ini akan selamanya menyiksaku. Dan rasa kesepian, rasa bahwa tiada yang peduli, akan selamanya menggerogoti jiwaku sampai nanti membusuk. Tapi biarlah, aku akan melawan sebisaku. Memang, tidak ada yang peduli. Memang, aku sendirian. Memang, jika orang tahu rahasia ini mereka akan meninggalkanku lagi.
Tapi biarlah, mungkin memang aku harus berjuang sendirian. Mungkin memang, di dunia ini tidak ada yang peduli padaku. Tapi aku peduli dengan diriku sendiri, itu cukup. Aku juga punya Allah. Sakit sekali rasanya, mengetahui bahwa tidak ada yang peduli. Orang-orang yang kupikir peduli, ternyata bisa begitu mudahnya pergi ketika aku menunjukkan bahwa aku butuh pertolongan.
Baiklah, memang meminta pertolongan tidak akan bisa kulakukan lagi. Orang akan pergi jika aku melakukannya.
Baiklah, aku akan menerima ini. Aku akan terus melawan bipolar ini, dengan caraku sendiri. Sendirian. Aku tidak akan berakhir seperti Sulli. Aku punya Allah.
Sungguh rasanya sakit. Tapi bagaimana lagi? Tidak ada yang peduli, kecuali Allah. Orang bilang peduli, namun aksinya menunjukkan sebaliknya. Sungguh sakit, aku ditampar realita lagi. Tapi baiklah, aku akan menerimanya. Aku akan selalu menyemangati diriku sendiri. Ketika aku jatuh, aku akan bangun sendiri. Ketika air mata ku jatuh, aku akan mengusapnya sendiri. Itu cukup bagiku.
Tiap monster itu muncul, aku akan balik berteriak padanya, "NOT TODAY, SATAN! I don't have enough time for this".