Pandanganku Tentang LGBTQA+ sebagai M̶u̶s̶l̶i̶m̶ Manusia di Indonesia
Lavida
April 30, 2019
1 Comments

Tunggu, LGBTQA+? Apa itu? Baru pertama kali mendengar akronim tersebut? Atau sudah tahu dan memilih untuk segera menutup artikel ini karena kalian anggap mereka kaum tidak bermoral, tidak berkodrat, menjijikkan, dan patut untuk dibenci? Atau malah kalian mensupport mereka?
LGBTQA+ adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Bisexual, Trans, Queer, dan Ally. Gimana? Sudah paham? Ataukah lebih bingung lagi? Dan kenapa ada simbol '+'nya? Baiklah, karena aku baik dan supaya menghemat kuota paket internet kalian, maka akan kujelaskan di sini.
Pertama, L untuk lesbian. Seharusnya, beberapa dari kalian sudah tahu ini istilah untuk hubungan cinta jenis apa. Mereka yang lesbian ini memiliki rasa tertarik secara romantik kepada sesama gendernya, antara perempuan dan perempuan. Yang kedua, G untuk gay. Mereka juga memiliki rasa tertarik kepada sesama gendernya, namun antara laki-laki dan laki-laki. Yang ketiga, B untuk bisexual. Mereka bisa tertarik ke semua gender, ke yang sesamanya dan juga ke opposite gender, namun tidak tertarik pada trans. Yang keempat, T untuk trans. Trans ini ada tiga macam; transgender, trans-seksual, dan transvestite. Transgender adalah keadaan dimana orang ini merasa dia terjebak di tubuh yang salah. Misal, si trans ini secara fisik adalah laki-laki. Punya jakun, punya kumis, dan lainnya. Namun ia merasa ia tidak seperti laki-laki pada umumnya. Ia tidak suka bola, ia suka warna pastel, ia suka make up, dan hal lain yang berdasarkan norma seharusnya disukai perempuan. Lalu untuk trans-seksual, ini adalah keadaan dimana si trans sudah mengoperasi untuk mengubah fisiknya menjadi seperti perempuan. Yang terakhir yaitu transvertite, merupakan keadaan dimana si trans suka berdandan dan memakai baju/fashion/aksesoris perempuan, biasa disebut crossdresser. Kemudian lanjut, yang kelima, Q untuk queer. Queer adalah keadaan dimana seseorang yang masih merasa bingung dengan identitas seksualnya. Dia masih mempertanyakan apakah dirinya normal/heteroseksual, atau homoseksual, atau biseksual, atau lainnya. Karena bingung yang melanda, akhirnya supaya simpel, disebutlah orang-orang bingung ini dengan queer. Lalu yang terakhir, A untuk ally. Yaitu sebutan untuk orang-orang yang heterosexual atau normal, tapi mereka mensupport LGBT. Mereka sudah tergolong ke dalam LQBTQA+.
Lalu bagaimana dengan simbol '+'? Simbol '+' ini ditambahkan karena selain LGBTQA+ ada lebih banyak identitas seksual lain yang terlalu banyak untuk kusebut. Beberapa di antaranya yaitu aseksual, panseksual, demiseksual, sapioseksual, dan lainnya yang aku belum tahu. Aseksual adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki ketertarikan pada gender apapun. Panseksual adalah keadaan dimana seseorang tertarik pada gender apapun, termasuk trans. Demiseksual adalah keadaan dimana seseorang jatuh cinta karena kedekatan emosional, bukan karena gender seseorang. Yang terakhir yaitu sapioseksual, adalah keadaan dimana seseorang jatuh cinta karena kepintaran seseorang atau pola pikirnya, bukan gender.
Wah, panjang sekali ya penjelasannya. Padahal sudah kubuat sesingkat mungkin supaya mudah dipahami. Jadi bagaimana? Sudah ada sedikit gambaran 'kah tentang kaum LGBTQA+ ini atau yang disebut kaum Nabi Luth jika ditilik di kitabku, Al-Qur'an? LGBTQA+ memiliki bulan peringatan untuk mendeklarasikan kemerdakaan hak mereka pada bulan Juni, biasa disebut pride month. Pas bulan lahirku, hehehe. Sejarahnya sangat panjang, penuh lika-liku, dan bitter-sweet.
Jadi begini, sekitar tahun 1960-an di Amerika merupakan awal-awal revolusi seksual, banyak pernyataan dan segala macam pemikiran bahwa identitas seksual bukan hanya antara laki-laki dan perempuan, namun lebih dari itu. Tentu saja ini menimbulkan banyak kontra, karena jika masyarakat sudah percaya dengan sebuah norma masa lalu begitu lama, maka hal baru yang tidak sesuai norma dianggap menyimpang dan sebuah tindak kriminal. Mereka yang mengaku LGBTQA+ akan diusir dari rumah, dibully, bahkan dibakar hidup-hidup di depan jalanan umum, atau digantung dengan biadabnya. Zaman dahulu Hak Asasi Manusia belum terlalu diperhatikan. Manusia saat itu masih cenderung bar-bar dan terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan, sepertinya masih terbawa dengan sejarah kelam Perang Dunia II. Hal ini begitu memprihatinkan. Padahal mereka hanya manusia biasa, seperti dirimu, namun hanya memiliki perspektif yang berbeda tentang hidup.
Banyak orang yang berkata bahwa LGBTQA+ merupakan kaum menyimpang yang tidak tahu aturan dan penyakit yang harus dibasmi. Apalagi di Indonesia, negara dengan mayoritas penduduk muslim. Jika tahu kamu merupakan LGBTQA+, maka siap-siap untuk tidak pernah hidup tenang selama-lamanya. Bahkan jika kamu ingin jujur pada keluargamu, kamu tetap tidak akan pernah yakin merasa aman. Meski ini tahun 2019 dan pemikiran banyak orang sudah lebih menerima atau terbuka terhadap suatu keadaan baru. Namun akan beda kasus jika di Indonesia, kamu tidak bisa yakin 100% bisa aman.
Aku warga Indonesia, beragama Islam. Aku hidup berpedoman pada kitab agamaku, juga sunnah rasulku. Maka LGBTQA+ sangat diharamkan bagiku, dan seluruh umat muslim di dunia. Sudah jelas dikatakan di Al-Qur'an;
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ,إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ”Dan (Kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS.Al-A’raf 80-81)
Rasulullah pun bersabdaDari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaلعن الله من عمل عمل قوم لوط لعن الله من عمل عمل قوم لوط لعن الله من عمل عمل قوم لوط“Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali) [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 No. 7337]
Aku tidak berani untuk melawan Tuhanku, Allah. Mensupport mereka, walau aku tidak termasuk, juga merupakan sebuah larangan besar. Menilik dari kisah istri Nabi Luth yang juga dilaknat, istri Nabi Luth bisa dianggap ally. Namun melihat banyak orang yang menganiaya kaum LGBTQA+ membuatku tidak bisa untuk hanya diam, jika aku diam maka tanpa sadar aku mensupport masyarakat untuk mendiskriminasi mereka. Aku merasa muak. Aku tidak menyetujui dengan prinsip-prinsip kaum LGBTQA+, tapi aku menghargai mereka sebagai manusia. Menghargai berbeda dengan menyetujui. Saat itu aku membuat status di Instagram, isinya kira-kira begini :
Lalu ada yang komentar, "Jangan terlalu liberal, Vid. Negara kita masih belum siap terbuka sama hal semacam ini. Bisa-bisa kamu dianggap laknat, atau dijudge tidak beragama dan tidak berpendidikan". Aku tidak membalasnya untuk sementara waktu, berpikir. Memang benar. Kebanyak orang pasti akan melabeliku buruk karena aku terlihat seperti mensupport mereka, padahal aku hanya menghargai mereka saja. Aku hanya memanusiakan manusia.
Kemudian beberapa saat, ada yang komentar lagi, "Tapi mereka memang salah, Lav. Mereka harus dibasmi. LGBT itu penyakit. Kalau tidak, bisa menular dan dunia akan hancur." aku hanya membacanya, tidak membalas.
Teman-temanku yang budiman. Mereka manusia biasa, persis sepertiku dan sepertimu, memiliki akal pikiran dan hati. Hanya berbeda pandangan. Ketika aku berinteraksi dengan mereka lewat tumblr, mereka tidak pernah menyakitiku. Mereka manusia biasa. Mereka menghargaiku yang heteroseksual, seseorang yang berbeda pendapat dengan mereka. Mereka tidak pernah mengganggu hidupku, malah mereka membantuku bangkit dari keterpurukanku. Aku berteman dengan mereka, namun aku normal-normal saja. Aku tidak menjadi mereka hanya karena aku berteman dengan mereka. Lantas alasan apa yang membuatku harus menyakiti mereka, atau bahkan membunuh? Apakah kalian Tuhan? Kalian siapa merasa berhak mengambil nyawa orang lain? Kalian sehebat dan sesempurna apa sampai berani merendahkan orang lain? Kalian hanyalah debu dibesarnya alam semesta yang telah Tuhan ciptakan. Kalian tidak berhak untuk menghakimi seseorang atas pilihan hidupnya. Biar saja itu menjadi urusan mereka. Mereka sedang belajar. Hidup adalah pelajaran yang harus kita lewati dengan cara masing-masing. Kita semua sama-sama masih belajar. Lebih baik, fokus memperbaiki dirimu sendiri supaya lulus dari ujian bernama hidup dengan nilai memuaskan. Kita semua masih mencari jati diri kita masing-masing, punya ujian masing-masing yang berbeda. Jangan pernah menggeneralisasi. Hidup tidak sesimpel itu. Hanya karena kamu melihat seseorang nangis di pojokan, lalu kamu teringat kamu yang pernah nangis karena ditinggalkan sahabatmu kemarin. Lantas apakah kamu menjudge orang tersebut menangis karena juga ditinggalkan sahabatnya? Tentu tidak. Kamu tidak pernah tahu apa saja yang orang lain tersebut telah lalui semasa hidupnya, sampai ia memiliki banyak persepsi yang berbeda denganmu. Maka hargai saja, daripada berkomentar buruk namun tidak tahu kebenerannya dan hanya menambah dosa.
Masalah Lucinta Luna dengan Dedy Corbuzier, aku melihat Lucinta adalah sosok yang sensitif. Kebanyakan orang melabelinya dengan pendosa, problematic, tukang mencari sensasi, manusia kurang kerjaan, pokoknya makhluk menjijikkan dan pantas mendapat banyak cacian. Aku melihatnya sebagai sosok yang benci dengan dirinya. Karena seseorang yang bahagia dengan dirinya, tidak akan mencari keributan dan lebih memilih menikmati hidupnya dalam diam. Mungkin dia juga muak dengan semua komentar netizen yang selalu mengejeknya setiap hari di komentar Instagram. Akhirnya saat menemukan bahwa Dedy menjadikannya sebagai bahan candaan di acara Boy William, perasaannyapun meletus seperti gunung vulkanik. Ia setiap hari memendam perasaan sakit hatinya tiap melihat banyak komentar ejekan padanya, dipendam setiap hari sampai akhirnya meledak. Dan sialnya, pendaman terakhir disebabkan Dedy dan akhirnya Dedy menjadi target karena ejekan yang berada di pendaman teratas gunung perasaan Lucinta. Lucinta mudah menangis ketika ia berusaha menjelaskan perasaan sakit hatinya, karena akhirnya ia menumpahkan segala hal yang dia pendam. Ia menjadi sensitif. Tapi karena masyarakat yang terlalu melihat dari sebelah mata, Lucinta dianggap tukang drama dan hanya mencari sensasi. But if you see beyond that, lihatlah bagaimana dia dengan mudah menangis. Karena dia terlalu sering memendam sesuatu. Jika tidak suka Lucinta, lebih baik abaikan segala aktivitas yang dia lakukan. Ia akan berhenti nanti. Biarkan saja ia hidup tenang dengan tubuh pilihannya.
Jika ditanya opiniku tentang LGBTQA+, aku percaya bahwa gender hanya laki-laki dan perempuan. By the way, disclaimer, ya. Ini hanya pandangan pribadiku semata, perbedaan cara pola pikir kita adalah sebuah kewajaran. Manusia itu makhluk yang kompleks, tidak bisa disama-ratakan. Tapi jika merasa opiniku salah dan kamu punya opini lain, free to tell me. Kita diskusikan bersama, aku suka belajar hal baru dan mendapatkan cara pikir orang yang berbeda dari cara pikirku. Aku open untuk segala discussion, kok.
Jadi gini, karena aku orangnya sangat based on psychology, aku pernah membaca suatu buku psikologi milik bapak Sigmund Freud tentang identitas seksual secara mental, bukan genital. Untuk pendapatku tentang trans, identitas seksual milik Freud itu dibagi menjadi dua spektrum; feminin dan maskulin. Feminin cenderung bermentalitas dan berperilaku halus, merawat, perhatian, peka, fokus pada perasaan dan lainnya. Sedangkan maskulin berada di spektrum berlawanan dari feminin. Maskulin cenderung berwibawa, menjaga, tegas, tenang, fokus pada logika, dan lainnya. Terlepas dari semua itu, norma masyarakat yang melekat adalah feminin sama dengan perempuan, maskulin sama dengan laki-laki. Padahal tidak sesimpel itu. Perempuan bisa mempunyai spektrum yang condong ke maskulinnya, namun bukan berarti tidak memiliki sisi feminin, sebenarnya ada. Hanya saja maskulinnya lebih kentara atau dominan daripada sisi femininnya. Mereka tetap memiliki fisik perempuan, hanya mental mereka maskulin. And it's normal. Vice versa untuk yang laki-laki.
Masalahnya kebanyakan orang merasa butuh sebuah status untuk mewakilkan mereka. Karena norma bahwa laki-laki sama dengan maskulin, perempuan sama dengan feminin, ini membuat beberapa orang yang tidak sesuai norma/stereotip masyarakatpun bingung dengan identitasnya dan menciptakan identitas baru. Akhirnya muncullah terms LGBTQA+.
Lalu bagaimana dengan yang memiliki ketertarikan dengan sesama jenis (gay/lesbian/biseksual/panseksual/lainnya)? Kalian pernah mendengar istilah cinta platonik teori Mahatma Ghandi? Cinta platonik bisa dianggap cinta yang bersembunyi dibalik persahabatan. Cinta antara sahabat, cinta antara orangtua dan anak, cinta antara saudara. Cinta yang tidak ada unsur seksualnya (cinta romantik). Cinta yang dirasakan lebih berdasar pada keamanan, kenyamanan, dan mengalir begitu saja. Berbeda dengan cinta romantik yang intim, cinta platonik lebih ke arah saling menjaga. Menurutku, mereka yang menganggap jatuh cinta dengan sesamanya, sepertinya mereka cinta dengan sahabatnya. Namun platonik. Hanya saja mereka hanya tahu cinta romantik yang seksual, mereka tidak tahu ada cinta lain yang bisa mendefinisikan cinta macam apa yang mereka. Banyak kok orang yang mencintai sahabatnya, tapi tidak lantas mereka menikahinya. Hanya ingin menjaga sahabatnya dan memastikan sahabatnya aman dan bahagia. Mungkin karena kurangnya informasi, mereka menyama-ratakan perasaan mereka sebagai cinta romantik lalu muncullah istilah cinta sesama jenis. Aku percayanya sih, rasa cinta itu banyak macamnya. Cinta tidak hanya tentang laki-laki dan perempuan yang menikah, tapi juga ada anak-orangtua, dan cinta antara sahabat. Hal ini normal. Namun sepertinya kesalahan dalam memandang sesuatu jadi penyebab. Bisa juga orang-orang ini memiliki trauma dengan yang berbeda gender, kemudian lebih memilih untuk tertarik pada sesama jenis karena merasa lebih aman. Platonik sekali, bukan? Tapi aku tidak bisa juga menyama-ratakan. Semua orang tinggal di lingkup yang berbeda dengan lingkupku. Ini hanya sebuah teori.
Ini menurutku, ya. Jangan jadikan patokan, belum tentu dan belum diuji ilmiah oleh para ilmuwan soalnya. Aku hanya remaja yang bingung juga, hahaha. Kita masih hidup, masih selalu belajar baru setiap harinya. Kita terlalu muda untuk mengerti apa arti hidup ini. Masih sering tersesat dalam mencari jati diri. Saling respect saja, setiap orang memiliki story masing-masing.