Follow Me @lavidaqalbi

3/05/2020

i wanna go to somewhere peaceful.

Maret 05, 2020 4 Comments
Kami adalah wajah-wajah manusia tanpa mata yang bisa menunjukkan empati. Bibir terjahit paksa dengan garis senyuman tiap incinya, darah keluar di tiap sela jahitan. Di tepi jalan, kulihat makhluk sesamaku bergandengan tangan dengan dada kiri yang bolong. Tidak ada jantung, hanya jiwa-jiwa yang hampa. Oksigen yang kami hirup untuk tetap hidup adalah serbuk putih yang berfungsi untuk melupakan segala kesakitan. Di dalam darah kami, mengalirkan alkohol memabukkan. Kami disebut makhluk hampa. Kami bernapas, tapi kami tidak hidup. Kami adalah monster yang ditakuti manusia-manusia normal, kamilah parasit yang hidup di kepala kalian. Kami memiliki perjanjian dengan Tuhan kalian masing-masing untuk memberi kalian surga, sebuah ketenangan, dengan cara tercepat dan termudah.
Sekarang, kutanya pada kalian "Apakah kalian senang hidup di dunia ini?", 90% akan menggelengkan kepala dengan cepat. 10%-nya lagi sudah berada di ambang jurang kematian, bergelantungan sendirian. Biar kuberi sebuah penawaran hebat, tapi hanya bagi si pemberani.
Genggamlah tangan kami, ikut kami bergandengan tangan bersama-sama. Pejamkan mata, di depan kita sudah tersiapkan surga gelap. Jatuhkan diri bersamaan dalam hitungan detik, maka rasa aman dan tenang yang telah lama dicita-citakan segera tergapai. Lihatlah sekitar kita, hanyalah berisi tentang kesakitan, nestapa, perpisahan, nan perjuangan berujung lara. Lautan mayat akibat peperangan, perceraian, pertengkaran menjadi asupan kita sehari-hari. Sudahi saja. Untuk apa berlama-lama dalam kesakitan? Kita berhak untuk bahagia. Maka sekarang, mari ke surga bersama. Ada banyak kendaraan, kalian bisa pilih :
1. Ambil pistol, arahkan ke kepalamu. Tarik pelatuk.
2. Ambil tali, lilitkan di lehermu. Tendang kursi.
3. Ambil obat-obatan, tenggak semua. Tanpa sisa.
4. Minumlah alkohol, hingga tidak sadar. Mengemudilah.
5. Ambil alat tajam, sayatkan vertikal di sepanjang pergelangan tangan.
Jangan lupa... Kendarai ke-5 kendaraan ini ketika sepi. Dijamin 100% ketenangan abadi akan langsung tercapai. Karena tidak ada satupun manusia yang akan membantumu di dunia ini. Kamu selamanya sendirian, berjuang sendirian. Tidak ada yang peduli. Tunggu apa lagi? Selamatkan dirimu sendiri dari kekacauan dunia. Di sini tidak tenang, di sini hanya berisi rasa sakit. Kamu ingin tenang, bukan? Maka segeralah lakukan. Bergabunglah bersamaku.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

that's what my monster always said inside my head every second.

11/22/2019

this is a cry for help. (sebuah frasa)

November 22, 2019 3 Comments
Tolong. Aku bergelantungan di jurang kehancuran lagi.
Tolong. Mengapa mulutku terbungkam dan malah tersenyum?
Tolong. Aku sedang disekap oleh monster kejam yang sedang bersiap menghunuskan pedangnya ke jantungku.
Tolong. Di sini gelap, tiada siapapun. Aku sendirian. Aku berusaha memeluk Tuhanku.
Tolong. Mulai kulihat cahaya di ujung lorong, samar-samar bayangan manusia sedang bercengkrama. Wahai kalian, dengarkan teriakan ku. Banyak sekali orang, tapi monster itu telah menebas pita suaraku.
Tolong. Aku terbungkam, terantai dan dipukuli monster ini berkali-kali.
Tolong. Seseorang, kumohon lihatlah ke belakang. Luangkan waktu kalian sebentar saja untuk menolongku.
Tolong. Kumohon, lihatlah tangisku yang berbalut senyuman. Aku tidak lagi sanggup berpura-pura kuat.
Tolong. Monster itu sudah mulai menemukan titik lemahku yang baru.
Tolong. Ia menyeringai dengan taringnya yang tajam, menggertakkan giginya dan mencekek leherku kemudian menjeburkan kepalaku ke dalam air.
Tolong. Aku kehabisan napas. Tanganku bergerak tak tentu arah ke atas berusaha mencari udara tapi tidak bisa, tanganku terikat kuat dengan rantai dingin penuh duri.
Tolong. Sesak, aku mulai menelan air. Segalanya terasa kabur. Dadaku dihujani batu ton besar, kini pecah berkeping-keping.
.
.
.

Seseorang... Tolong aku. Kumohon. Kumohon. Kumohon. Aku tidak berani meminta bantuan kalian. Monster ini sedang menyekapku. Kumohon. Tolong. Tolong. Tolong.

10/18/2019

Why is everything so heavy?

Oktober 18, 2019 1 Comments
Sudah lama sekali aku tak pernah membuka blog ini sampai sudah usang dan berdebu. Well, kini aku tinggal di Malang. Menjalani kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswa baru di salah satu universitas di kota bunga tersebut. Hawa dingin tiap pagi yang membuat kulitku meremang. Membuatku ingin terus selalu menceruk di bawah selimut. Tapi dengan paksa, kucoba membangunkan diri sendiri dan pergi ke kamar mandi untuk bersiap-siap.
Kalender sudah memberiku peringatan bahwa ini bulan Oktober. Seharusnya hujan sudah datang sejak Agustus akhir, namun tidak juga kunjung datang. Aku rindu menangis di tengah hujan supaya tidak ada seorangpun yang tahu. Tapi sepertinya, aku hanya bisa menangis di kamar mandi sendirian untuk sementara waktu ini.
Beberapa teman SMAku bilang jam kuliah mereka hanya jam 10 pagi sampai jam 2 siang. Atau jam 3 sore sampai jam 5 sore. Sedangkan jam kuliahku bisa dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Sungguh tahun ajaran baru yang sibuk. Mungkin karena aku masuk di jurusan ilmu pendidikan, maka dari itu jam kuliahku lebih padat daripada jam kuliah teman-teman lain yang memiliki jurusan ilmu murni. Tapi tak apa, meski lelah, aku menjalani segalanya dengan bahagia. Karena aku bersyukur, aku punya kesempatan berkuliah. Itu sudah cukup untukku.
Di sini, Lavida yang suicidal benar-benar sudah berubah. Aku menjadi seseorang yang selalu tersenyum, tertawa, riang, dan melakukan hal-hal konyol untuk membuat teman-teman kuliahku tertawa. Aku memiliki begitu banyak teman di sini. Berbeda ketika aku di masa SMA, apalagi ketika dulu aku benar-benar di masa depresi dan semua orang meninggalkanku.
Aku merasa bahwa semua orang memang hanya ingin melihatku bahagia. Begitu banyak orang yang suka berada di dekatku sekarang, karena aku mempunyai energi positif yang terus melimpah ruah. Mereka ingin tertular positive vibe yang kumiliki.
Secara tiba-tiba dengan ajaib, aku bisa begitu mudahnya menjadi baik-baik saja, menjadi bahagia. Secara ajaib, tiba-tiba aku yang dulu depresi, tak memiliki harapan, dan sudah mencoba bunuh diri berkali-kali, menjadi seseorang yang selalu tersenyum dan hanya tertawa.
"Kamu kok selalu senyum sih Lav?"
"Lav, rahasia supaya selalu kuat senyum itu gimana? Kadang aku capek dan ngga bisa ngontrol ekspresi wajahku yang capek jadi keliatan dan orang ngira aku judes,"
"Di semua foto-foto candidmu yang diambil anak-anak, kamu selalu senyum ya"
"You're so positive, I like it"
"Aku pingin kayak kamu, Lav. Bahagia terus keliatannya"
Bagaimana bisa? Apa rahasianya?
Karena aku sudah mengalami dan merasakan kerasnya realita bahwa semua orang tak peduli pada alasan-alasan dibalik tindakanku, yang semua orang inginkan hanyalah supaya aku tersenyum. Bahkan ketika aku ada masalah, ketika fase depresiku kambuh, ketika beberapa menit yang lalu aku menangis, semua hanya ingin melihatku tersenyum. Jika aku menunjukkan sedikit saja gejala depresiku, orang akan menjauh lagi. Jujur, rasanya sangat menyakitkan. Aku benar-benar kesepian, seperti tidak ada yang peduli padaku. Kupikir aku sudah melawan mental illness yang kuderita. Ternyata tidak.
Saat kelas 12, aku didiagnosa psikiater bahwa aku terkena Bipolar Tipe 2. Dan psikiater tersebut bilang bahwa, "Bipolar akan selamanya ada di hidup penderitanya. Bipolar tidak bisa disembuhkan. Jika hanya depresi, dengan beberapa treatment bisa sembuh. Tapi bipolar tidak bisa," katanya begitu. Dalam hati, aku dongkol. Aku sudah benci didiagnosa bahwa aku mempunyai mental illness dan perkataan pesimis dari psikiaternya membuat moodku semakin hancur. Aku tidak suka psikiater tersebut, ia semakin membuatku tambah down. Dulu juga aku harus meminum obat bipolar untuk mood stabilizer, nama obatnya Depakote ER. Rasanya tidak pahit, namun ukurannya sangat besar. Mahal pula. Setiap hari sebelum berangkat sekolah dan saat mau tidur, ibuku selalu mengingatkanku untuk meminumnya. Namun aku tidak suka. Dulu aku sangat benci fakta bahwa aku begitu lemah karena mempunyai mental illness. Aku tidak rela, aku merasa aku tidak sakit. Begitu memalukan rasanya.
Saat meminum obat itu rasanya aku seperti zombie. Pikiranku begitu statis. Susah berkonsentrasi. Rasanya sangatlah kosong, hampa.
Akhirnya setelah obatnya habis, aku memutuskan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan tersebut dan berjanji pada diri sendiri bahwa aku bisa melawan penyakit ini dengan caraku sendiri. Juga, aku berusaha membuktikan bahwa bipolar bisa hilang.
Saat aku dalam fase depresi, aku akan  mengurung diriku sendiri di kamar dan menjauh dari orang-orang. Aku takut aku akan menyakiti diriku sendiri dan orang lain. Dalam fase depresi, perlu kalian tahu bahwa di fase inilah yang paling berbahaya karena pikiran-pikiran untuk bunuh diri sering muncul. Maka dari itu, aku mengurung diri dan memilih untuk tidur atau melihat video-video lucu di YouTube.
Saat aku dalam fase mania, aku begitu bahagia. Energiku seperti tidak pernah habis. Di pikiranku muncul ide-ide gila yang tidak berguna. Aku berbicara pada semua teman sekelas ku satu persatu. Aku jalan kaki dari gerbang depan sampai gerbang belakang bolak-balik 4x tanpa lelah. Aku boros dan tidak berpikir panjang saat menghabiskan uang (impulsif). Aku tidak butuh tidur, bahkan bisa belajar 2 hari terus-menerus tanpa tidur di meja belajar dengan kepala tertunduk karena hanya fokus dengan buku. Aku menyiasati fase ini dengan lari-lari keliling sampai aku lelah dan bisa tidur. Bagaimanapun caranya, aku harus tidur.
Di fase mania, aku begitu bahagia. Kupikir aku sudah mengalahkan bipolar. Aku sombong, berbangga diri.
Tapi ternyata, aku salah. Kupikir aku sudah baik-baik saja. Ternyata saat itu aku hanya dalam mania. Ketika fase depresi muncul, semua pikiran negatif itu muncul lagi. Tiap detiknya begitu menyakitkan. Aku hanya ingin menangis.
Tapi tidak ada seorangpun yang tahu. Kini aku sudah menjadi aktor yang hebat. Aku sudah terbiasa menahan rasa sakit sendirian, menahan air mata supaya tidak jatuh, tersenyum bahkan ketika pikiran-pikiran bunuh diri itu menjerit.
Aku akan selalu tersenyum mulai sekarang. Dengan ajaibnya, seolah aku berhasil mengalahkan bipolar yang didaku penyakit seumur hidup itu. Aku akan menahan segalanya sendirian, aku tidak mau orang-orang meninggalkanku lagi jika mereka tahu.
Tentu, terkadang ada waktu dimana aku lelah berpura-pura. Beberapa pil obat sudah ada di genggamanku, namun segera kutepis pikiran anehku. Kubuang obat itu jauh-jauh. Kucoba tidur. Kucoba untuk mengerjakan tugas. Kucoba untuk memanipulasi otak bahwa aku baik-baik saja dengan tertawa dan melakukan pekerjaan sehari-hari.
Beberapa hari yang lalu, anggota f(x) bunuh diri dengan menggantung dirinya di apartemen. Aku segera melihat Instagramnya. Kuekspektasikan rasa bela sungkawa, namun yang kutemukan adalah cacian.
"Kamu harusnya mati lebih cepat"
"Ya, benar. Lebih baik kau mati daripada hanya menjadi sampah"
"Dia selalu ingin menjadi pusat perhatian. Bahkan saat mati. Dia bilang dia depresi kan? Dasar orang gila,"
"J*lang sepertinya memang pantas untuk mati."
Jahat sekali. Anehnya, aku membaca komentar-komentar itu seperti ditujukan pula padaku.
Kasus Sulli membuatku teringat diriku di masa lalu ketika berusaha melakukan bunuh diri. Sebenarnya, kasus-kasus seperti ini membuat orang-orang dengan mental illness jadi triggered.
Untuk orang-orang awam, biar kuberi perspektif ku tentang apa yang Sulli rasakan sebelum memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Memang kami bisa terlihat begitu bahagia ketika tadi pagi bersamamu. Tertawa tanpa beban. Melakukan hal-hal konyol dan terlihat begitu bahagia. Namun ketika sorenya, kami berpisah. Kembali ke rumah masing-masing. Ke kamar, sendirian.
Di waktu inilah, monster di pikiran kami akan menjerit-jerit. Mereka menyuruh kami untuk membunuh diri sendiri, menyakiti diri sendiri. Monster itu bilang tidak ada yang peduli pada kami, tidak ada yang sayang.
Pasti Sulli merasakan itu. Ia membuka ponselnya, semua notifikasi yang ia dapatkan adalah dari pembencinya. Ejekan-ejekan yang selamanya akan membekas dalam hatinya. Ia pernah mencoba meminta tolong. Dengan bilang pada agensinya, tapi tidak ada yang peduli. Sulli sering menangis di live Instagramnya tapi kebanyakan orang melabelinya attention seekers. Orang kira dia hanya mabuk. Padahal semua yang ia lakukan adalah a cry for help.
Kini apa yang dikatakan monster tersebut memang benar bagi Sulli. Yang dikatakan monster itu adalah fakta, bahwa semua orang membencinya. Semua orang lebih bahagia jika ia mati. Tidak ada yang peduli padanya. Ia sendirian, kesepian. Pikirannya kalut, sudah tidak bisa berpikir logis.
Maka saat itu, ia menggeret salah satu kursi di meja makannya. Ia mencari tali kemudian mentalinya di langit-langit rumah. Ia menangis seorang diri di apartemennya. Membenci dirinya sendiri. Kemudian ia naik ke kursi tersebut. Memasukkan kepalanya ke dalam tali, lalu mengeratkan tali itu di lehernya. Untuk terakhir kalinya, ia mengecek ponselnya. Notifikasinya hanya berisi komentar-komentar jahat. Sullipun mematikan ponselnya, dengan sekali hentakan, ia menendang kursi yang ia pijaki. Ikatan di lehernya semakin mengerat. Ia bergelantungan di langit-langit. Kedua kakinya berpencal tanpa arah. Lehernya begitu sakit. Ia butuh oksigen namun sudah terlambat. Tali itu hanya semakin berubah erat. Dan akhirnya tubuhnya melemas, kulitnya perlahan menjadi ungu. Sullipun meninggal, sendirian.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku bilang aku lelah, tapi tidak ada yang mendengarkan ku. Aku merasa aku sendirian," — Sulli.
Saat kasus tersebut muncul, ada salah satu teman yang menanyaiku tentang pendapatku. Ia menyuruhku berjanji untuk tidak melakukan apa yang Sulli lakukan. Maka aku pun berjanji, "Janji yang ingin kubuat adalah aku akan berada di sini, sampai waktu yang lama. Aku tidak akan pergi jauh dan aku akan membuat orang-orang yang kusayangi bahagia dan diriku bahagia".
Memang, bipolar ini akan selamanya menyiksaku. Dan rasa kesepian, rasa bahwa tiada yang peduli, akan selamanya menggerogoti jiwaku sampai nanti membusuk. Tapi biarlah, aku akan melawan sebisaku. Memang, tidak ada yang peduli. Memang, aku sendirian. Memang, jika orang tahu rahasia ini mereka akan meninggalkanku lagi.
Tapi biarlah, mungkin memang aku harus berjuang sendirian. Mungkin memang, di dunia ini tidak ada yang peduli padaku. Tapi aku peduli dengan diriku sendiri, itu cukup. Aku juga punya Allah. Sakit sekali rasanya, mengetahui bahwa tidak ada yang peduli. Orang-orang yang kupikir peduli, ternyata bisa begitu mudahnya pergi ketika aku menunjukkan bahwa aku butuh pertolongan.
Baiklah, memang meminta pertolongan tidak akan bisa kulakukan lagi. Orang akan pergi jika aku melakukannya.
Baiklah, aku akan menerima ini. Aku akan terus melawan bipolar ini, dengan caraku sendiri. Sendirian. Aku tidak akan berakhir seperti Sulli. Aku punya Allah.
Sungguh rasanya sakit. Tapi bagaimana lagi? Tidak ada yang peduli, kecuali Allah. Orang bilang peduli, namun aksinya menunjukkan sebaliknya. Sungguh sakit, aku ditampar realita lagi. Tapi baiklah, aku akan menerimanya. Aku akan selalu menyemangati diriku sendiri. Ketika aku jatuh, aku akan bangun sendiri. Ketika air mata ku jatuh, aku akan mengusapnya sendiri. Itu cukup bagiku.
Tiap monster itu muncul, aku akan balik berteriak padanya, "NOT TODAY, SATAN! I don't have enough time for this".

7/30/2019

Lav (Cinta)

Juli 30, 2019 3 Comments
Terimakasih.
Untuk semua kasih sayang yang telah diberikan orang-orang sekitarku. Namun bahkan, seribu kali kulontarkan terimakasih pun, tak akan pernah cukup untuk membalas semua kasih sayang yang diberi oleh mereka semua. Tak akan pernah cukup untuk membayar kebodohanku di masa lalu atas segala hal yang kulakukan, yang telah membuat orang-orang yang sayang padaku harus melewati neraka atas perbuatanku di masa lalu.
Baru kusadari, betapa dicintainya diriku. Bahkan sejak aku masih kecil. Tapi hatiku terlalu dibutakan ambisi dan kontrol, menginginkan segala hal sesuai dengan yang standar yang kupegang. Tanpa bisa menghargai bahwa setiap orang punya caranya masing-masing untuk mengekspresikan rasa sayangnya. Bahkan, Tuhanku yang kuanggap membenci diriku karena memberiku bertubi-tubi masalah kehidupan pun ternyata manyayangiku. Ia menghajarku berkali-kali supaya aku tumbuh menjadi manusia yang kuat. Karena Ia tahu aku perlu ditempa supaya bisa survive dari hidup ini sendirian.
"But, after everything you've done
I can thank you for how strong I have become
'Cause you brought the flames and you put me through hell
I had to learn how to fight for myself
And we both know all the truth I could tell"
— Praying, Kesha.

Semenjak aku TK (sampai sekarang), sudah banyak sekali kejadian dimana aku harus dihadapkan dengan perpisahan. Membuatku akhirnya menelan pil pahit kejujuran sedari kecil, bahwa semua orang akan meninggalkanku. Sudah ketetapan pasti. Maka yang bisa kulakukan adalah menghargai orang-orang yang ada di hidupku selagi takdir mereka dan takdirku masih bersinggungan. Seharusnya aku menghargai mereka, seharusnya aku menyayangi mereka. Bukan malah menuntut dan menganggap mereka mainan boneka yang bisa kusuruh semauku. Aku bukan Tuhan. Begitu bodohnya aku. Aku telah menyakiti hati banyak orang yang menyayangiku. Aku minta maaf. Bagaimana bisa aku membalas kebaikan mereka semua? Aku harap aku masih punya banyak waktu untuk membalas kebaikan orang-orang ini. Mereka semua telah berkorban banyak sekali demi aku. Tapi aku malah sibuk memikirkan masalahku sendiri dan tanpa sadar mengajak mereka jatuh ke dalam nerakaku. I am just a stupid little girl who never learn. It's true, I am a slow learner. But I learn.
Aku paham dimana letak kesalahanku, aku bersyukur Tuhanku mengizinkan agar hatiku bisa melihat kesalahanku sendiri. Aku bersyukur atas semua masalahku. Akhirnya, aku bisa berkata terimakasih pula untuk masalah-masalahku. Bahkan aku tidak membenci diriku yang dulu. Aku menyayangi masa laluku, menghargainya. Aku paham bahwa aku dulu memang bodoh, tapi aku harus menerima masa laluku supaya aku bisa mencintai diriku yang sekarang seutuhnya. Akibat Lavida lama, Lavida baru belajar banyak sekali tentang kehidupan.
No one can protect me. No one can protect anyone from anyone. Only God and ourselves can help each one of us.
Bagi kalian, yang merasa hidup begitu tidak berguna. Rasanya kosong di dalam jiwa, seperti ada galaksi lubang hitam begitu besar, tak juga penuh meski sudah diisi apapun. Percayalah padaku, please pray. Curhatlah pada Tuhanmu. Aku paham, aku pernah ada di posisi kalian. Bagi kalian dan aku di masa lalu, berdoa hanyalah sia-sia. Masalah tidak akan selesai. Tapi kumohon, cobalah sekali saja. Percayalah, Dia sudah paham bahkan sebelum kamu mengeluarkan kalimat pertama. Isn't it beautiful, that God already know how you felt but still listening to you? Terkadang, aku hanya menangis tanpa bersuara saking sakitnya hatiku. Namun mengetahui bahwa Tuhanku paham apa yang kurasakan tanpa perlu aku bicara, membuatku sangat tenang mengetahui kenyataan itu. And that's what we all need, understanding.
"I hope you're somewhere, praying
I hope your soul is changing,
I hope you find your peace
Falling on your knees, praying"
— Praying, Kesha.
Aku paham rasanya. Saat dunia serasa mengutuk kita. Saat rasanya kita bergelantungan di jurang kehancuran, rasanya lebih baik menjatuhkan diri. Lebih mudah melepaskan tangan yang bergelantungan karena saat bergelantung terus-menerus, menunggu seseorang yang akan menjulurkan tangannya untuk membantu, menunggu seseorang untuk membantu serasa tidak mungkin dan semakin lama tangan semakin sakit. Rasanya lebih mudah untuk melepaskan tangan dan membiarkan diri jatuh saja biar jadi mayat yang membusuk lalu perlahan menghilang, rasanya tidak ada yang peduli pula. No, wrong. Orang-orang menyayangi kita. Mereka sedang mencari diri kita yang hilang, mereka tidak tahu bahwa kita sedang bergelantungan di jurang kehancuran. Maka bagaimana mereka bisa membantu? Maka dari itu, bangkit. Kerahkan segala tenaga untuk menaiki jurang itu. Kita harus berjuang untuk diri kita sendiri. Dan tentu saja, disaat segala hal terasa mustahil. Kita butuh harapan. Tempatkan harapan itu pada Tuhan kita masing-masing. Maka harapan kita tak akan pernah pudar meski ketika tiap akan bangkit, kita terjatuh kembali. Tuhan sedang melihat kita berjuang, ia berusaha membantu kita dengan memberi kita energi tambahan agar kita tetap bisa bertahan. Ia tersenyum dengan bangga di langit, melihat kita tidak menyerah meski ia beri banyak ujian. Ia menyayangi kita semua dan ia percaya kita bisa, makanya kita diberi ujian. Jika Tuhan tidak percaya, maka hidup kita akan dibuat terus baik-baik saja tanpa masalah dan akan lupa dengan Tuhan. Tuhan tahu, masalah akan membuat kita lebih kuat dan mendekatkan kita padaNya. Ia tidak butuh kita. Kita yang butuh Dia. Dan karena Ia begitu sayang dengan kita, Ia beri kita ujian supaya kita tidak salah jalur.
Aku sadar mengapa Nabiku menangis saat akan meninggal. Ia begitu menyesal karena ia tidak bisa hidup lebih lama. Just look at us. We are so lost. Saat ingin ketenangan, kita malah mencari ketenangan dunia fana yang perlahan menghancurkan (narkoba, mabuk, merokok, dan lain-lain). Padahal hanya dengan menangis lalu berdoa pada Tuhan, rasa ketenangan itu bisa dicapai. Tidak ada efek buruk jangka panjang dan gratis pula.
Dan aku bersyukur sekali, Tuhanku sangat menyayangiku. Doaku banyak sekali yang dikabulkan. Namun tentu saja, aku berusaha. Tidak hanya berdoa lalu diam saja. Aku berusaha semampuku, lalu berdoa, lalu berusaha lagi. Lalu Tuhanku mudahkan permasalahan duniaku. I am in love with My God, Allah. Dan dengan Tuhanku, aku punya Allah, aku yakin aku akan baik-baik saja. Aku percaya Tuhanku begitu dekat denganku. Ia selalu membantuku dengan segala kejutannya yang tiba-tiba. Terlalu banyak keajaiban yang terjadi saat aku berdoa, pasrah atau ikhlas, setelah semua yang kuusahakan tidak membuahkan hasil. Tiba-tiba Tuhanku memberi kejutan. Ia begitu baik. Setelah semua kebodohan yang kulakukan, Tuhanku memberi kesempatan padaku berkali-kali.
Kumohon, kalian yang masih merasa tersesat dalam hidup ini. Aku mohon, mintalah pertolongan pada siapapun jika kalian memang tidak punya Tuhan, pada orangtua, saudara, guru, teman, siapapun. Jika kalian punya Tuhan, berdoalah. Aku juga akan mendoakan kalian dari sini supaya kehidupan kalian bisa membaik. Namun juga, kumohon kalian juga berdoa dan coba mendekat dengan Tuhan kalian masing-masing. Aku sayang kalian. Kumohon, cobalah nasihatku.

7/25/2019

Vida (Hidup)

Juli 25, 2019 1 Comments

"Kita hidup di dunia ini hanya numpang minum air," - kata salah satu idiom Jawa.
Well, that's true. Pertama kali kudengar kalimat itu terlontar dari Ayahku. Saat itu aku sedang galau karena tidak diterima di universitas impianku. Ayahku bilang bahwa dunia ini hanya fana. Kesenangan-kesenangan dunia sebenarnya adalah jebakan untuk menyesatkan, supaya kita lupa akhirat. Padahal daripada mengejar dunia, kita seharusnya mengejar akhirat. Setelah hidup di dunia ini, jika kita mati (di agamaku) maka akan ditempatkan di kehidupan selanjutnya, akhirat. Hidup di akhirat akan lebih lama lagi daripada di dunia, diibaratkan dunia ini hanyalah numpang minum air.
Namun tentu saja, aku mengelak. Bagiku, akhirat memang penting tapi dunia ini juga sama pentingnya. Jika hidup hanya mengejar akhirat, bisa-bisa jadi tidak peduli dengan sesama karena sibuk memperkaya diri dengan shalat dan hanya i'tikaf di masjid (jika ditilik dari contoh agamaku).
Aku lebih memilih jika seorang individu seimbang, mengejar akhirat namun juga mengejar dunia. Misalnya, membantu orang yang membutuhkan. Lewat gelar sarjana, mendapatkan pendidikan, lalu ilmu dibagikan ke manusia lain, bukankah sama bagusnya?
"Tapi setidaknya punya harapan, lah, Pa. Punya cita-cita. Punya tujuan. Kalau ga gitu, hidup nanti rasanya ga berguna" kemudian diriku flashback ketika dulu berusaha bunuh diri berkali-kali. Sekarang bisa berubah karena aku menemukan tujuan hidupku. Akhirnya, aku menemukan jawabannya setelah 17 tahun berpikir bahwa aku tidak berharga dan tidak pantas hidup. Akhirnya.
Lalu Papa ku membalas, "Iya. Emang. Punya harapan itu penting. Allah juga suka sama hambaNya yang berharap. Tapi hidup ga melulu soal dunia. Kalau ga keterima universitas ya udah gapapa, cari kerja aja. Kamu ditawarin kerja **** sama ****, itu ambil. Les bahasa dulu setahun. Nanti setelah selesai kuliah juga yang dicari apa lagi? Kerja. Pasti ada jalan keluarnya. Dunia sama akhirat itu sama-sama penting. Tapi lebih penting akhirat. Yang penting kamu udah berusaha. Hasilnya bukan kamu yang menentukan, jangan keminter daripada Allah. Kamu sombong namanya, mendikte Allah. Ikhlas, Vid. Itu kunci supaya bahagia dunia dan akhirat. Kamu coba belajar ikhlas. Papa juga masih belajar, karena memang susah. Tapi harus,".
Segera saja, aku tertohok. Benar juga. Aku pun segera mengubah mindsetku. Aku percaya, ketentuanNya selalu yang terbaik. Aku harus ikhlas, yang penting sudah berusaha. Memang, ditolak universitas, ditolak kerja, segala hal yang berhubungan dengan penolakan itu sakit. Sedih? Sangat boleh. Wajar. Kita manusia, punya emosi (kecuali psikopat/sosiopat). Tapi, bangkit lagi adalah sebuah keharusan. Ikhlas. Yang penting sudah berusaha. Daripada tidak sama sekali berusaha? Itu baru boleh menyesal. Tapi jika sudah berusaha kemudian menyesal dan menyalahkan diri sendiri karena ditolak, kumohon berhenti. Jika begitu terus, sama saja kita menyiksa diri kita sendiri. Belajar ikhlas, mengkasihani diri. Cintai diri, sayangi diri.
Jika kamu punya keinginan yang sangat besar, lakukan (asal itu baik). Jangan biarkan keragu-raguan menghentikan. Karena rasa menyesal akibat tidak pernah mencoba lebih sakit, daripada sedih akibat semua tidak sesuai rencana. Lebih baik mencoba. Jangan pernah takut. Jika kita takut, sama saja kita membatasi potensi kita. "Padahal dalam diri kita mengalir emas", kata Rumi. Aku tidak lagi kesal karena tidak diterima di universitas yang kuimpikan, setidaknya aku sudah berani mencoba. Aku cukup mengapresiasi keberanianku walau ditolak. Setidaknya, aku berani mencoba. Dan aku paham, takdirku untuk tidak ditempatkan di universitas ini adalah pilihan Tuhanku. Aku pun bisa perlahan mencoba ikhlas.
Kemudian saat aku sudah mulai ikhlas dan percaya lagi pada Tuhanku, tiba-tiba ada pengumuman bahwa aku diterima di universitas keinginanku yang lain. Setidaknya, aku dapat sekolah. Itu sudah cukup. Langsung saja, saat aku shalat ketika sesi doa, air mataku tumpah tanpa bisa dicegah. Begitu deras. Tidak bisa berhenti. Tuhanku sungguh baik, setelah aku mendiktenya dan sombong, masih saja memaafkanku.
Padahal masa laluku juga begitu kelam. Aku suka keluar malam, merokok, mabuk, pernah berusaha bunuh diri berkali-kali, dan hal-hal bodoh lain yang kulakukan. Aku melakukan hal-hal bodoh itu karena aku ingin tenang. Tapi bodohnya aku, merokok atau mabuk sungguhlah hal buruk. Efek jangka panjangnya akan mematikan. Untungnya, Tuhan tidak meninggalkanku. Ia menuntunku lagi lewat orang-orang sekitarku dan akhirnya aku bisa lepas dari kecanduan hal-hal tersebut dengan susah payah. Padahal jika dipikir-pikir, saat berdoa dan curhat pada Tuhan itu juga bisa membuat tenang. Efek buruk jangka panjang pun tak ada. Memang sungguh bodoh diriku di masa lalu.
Tapi meski aku bodoh seperti itu, Tuhanku langsung menjawab doaku ketika aku bisa benar-benar ikhlas, pasrah dan mendekatkan diriku lagi padanya. Memang benar,
Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.”
Mempunyai harapan itu penting sekali. Manusia mengecewakan. Dan hanya kepada Tuhan aku bisa menangis ketika dirasa manusia tidak ada yang bisa menolongku (untuk atheist, maaf). Tapi, semoga kalian yang sedih karena dunia ini. Kumohon, ingatlah bahwa selalu ada harapan.
Aku bersyukur aku masih hidup sampai sekarang. Saat dulu aku berusaha bunuh diri, aku takut pada dunia. Aku belum siap menghadapi dunia ini, aku terlalu pengecut. Tapi aku lupa, aku punya Tuhan yang lebih besar daripada masalahku. Jadi begitulah, aku lebih memilih untuk bunuh diri saat itu.
Tapi Tuhanku tetap baik padaku, ia menggagalkan upaya bunuh diriku berkali-kali. Pasti ada alasannya. Dulu aku benci mengapa saat hidup aku disiksa, tapi saat ingin mati aku ditahan. Namun kini aku paham mengapa semua itu harus terjadi.
Namun kini aku paham, semua masalah yang diberi padaku adalah cara Tuhan untuk menempaku menjadi lebih kuat. Si Lavida bodoh, naif, takut sendiri kini berubah menjadi Lavida yang kuat, lebih hati-hati, dan mandiri. Sungguh perbedaan yang kontras. Seandainya aku berhasil bunuh diri di masa lalu, aku tidak akan merasakan kebahagiaan yang kurasakan di masa sekarang.
Cahaya akan datang, meski rasanya sekarang kamu sedang ada di dalam gua tergelap. Jangan diam saja mengutuk diri di dalam gua gelap itu, kita harus berjalan mencari jalan keluar. Jika kita hanya diam, kita tidak akan pernah menemukan jalan keluar. Ayolah, angkat kepalamu. Angkat tubuhmu. Langkahkan kakimu. Kamu pasti juga akan keluar dari gua itu. Aku pernah tersesat juga sepertimu. Jadi, ada harapan, kok. Kita nanti bertemu di luar gua, ya, dengan sinar mentari yang menghangatkan. We are our own heroes, let's save ourselves!