Follow Me @lavidaqalbi

6/14/2020

fourteenth of june.

Juni 14, 2020 0 Comments
Now Playing ; Lewis Capaldi - Before You Go

Tepat 19 tahun yang lalu, seorang bayi mungil lahir ke dunia. Ia menangis, namun semua di sekitarnya malah tersenyum bahagia. Bayi itu kebingungan, bertanya pada entah siapa "Dimana aku?". Namun tiada yang memahami maksudnya, bayi itupun semakin menangis keras.
Bayi itu adalah diriku, 19 tahun yang lalu. Aku berulang-tahun hari ini. Ada perasaan takjub sekaligus sedih yang kurasakan, 2 tahun yang lalu benar-benar sebuah neraka bagiku. Kupikir aku tidak akan hidup sampai sekarang, mengingat sudah berapa kali usaha bunuh diri yang kulakukan. Tapi bisa kalian lihat sekarang, aku selamat dari diriku sendiri. Aku berbahaya untuk diriku sendiri, juga untuk orang lain sebenarnya. Kadang aku berpikir, "Apakah aku benar-benar tidak waras? Perlu dirawat di Rumah Sakit Jiwa?" tapi kutepis pikiran itu. Aku masih dalam fase denial, dimana aku merasa diriku sehat dan tidak apa-apa. Saat keadaan sesungguhnya yaitu mentalku benar-benar kacau, sebenarnya mungkin pikiranku itu benar.
Aku sudah belajar selama 19 tahun, tentang kehidupan.
Aku sudah menahan sakit selama 19 tahun, menghadapi jahatnya dunia dan manusia yang mendampratku berkali-kali.
Aku sudah merasakan nestapa selama 19 tahun ; ditinggalkan, dikhianati, dikecewakan, dikucilkan, lalu dicemooh.
Aku sudah berjuang untuk hidup selama 19 tahun, hidup di pikiranku yang rusak dan kacau ini.
Aku sudah pernah menjeritkan 'tolong', namun orang di sekitarku memilih untuk menutup mata mereka.
Bukannya orang-orang tidak peduli, namun mereka berusaha untuk berlindung dariku.
Karena pikiranku yang rusak ini telah membuat orang-orang di sekitarku terjatuh dalam nerakaku.
Aku merasa kesepian, sendirian. Dan rasa itu semakin hari semakin menggerogoti diriku. Aku menjadi tidak bisa percaya pada siapapun dan semakin merasa tidak ada yang peduli padaku.
Sering kali aku berpikir, sambil melihat cutter atau pil-pil obat yang ada di atas meja sambil berdialog dengan diriku sendiri "Untuk apa berada di sini jika hanya untuk merasakan sakit dan membuat orang-orang di sekitarku ikut sakit? Sepertinya lebih baik jika aku pergi. Mungkin kali ini aku akan berhasil, tidak gagal seperti yang dulu".
Minggu lalu, aku kembali self-harm. Hingga detik ini. Baru saja kemarin malam aku melakukannya lagi. Dan malam-malam sebelumnya, lalu malam-malam selanjutnya juga akan. Sudah seperti candu bagiku. Aku tahu pikiranku bilang bahwa hal tersebut salah dan kacau, namun mentalku seolah buta dan tidak bisa menyadarkan diriku. Mentalku yang kacaupun menang. Aku kembali seperti dulu. Kamu pasti kecewa ya mengetahui fakta bahwa aku kumat lagi? Tidak hanya dirimu, aku lebih kecewa lagi dan begitu membenci diriku sekarang. Kalian tahu 'kan betapa susahnya menghilangkan kecanduan ketika sekali saja kumat? Sekarang, aku sama sekali belum bisa berhenti. Aku kesusahan.
Aku takut untuk meminta tolong langsung, karena pernah ada seseorang yang bilang padaku "Kalau sama aku, kamu jangan pura-pura bahagia ya. Kalau ingin minta tolong, langsung bilang saja padaku,". Tapi ketika aku meminta tolong, ia pergi. Dan aku kembali menahan sakit.
Monster di kepalaku benar-benar parah. Dulu ia hanya datang dua bulan sekali, lalu berlanjut menjadi datang tiap malam hari, kemudian sekarang bahkan ia menyerangku di siang hari. Setiap detiknya aku tersiksa. Sakit sekali rasanya. Tapi aku harus kuat, bukan? Meski sakit, aku harus tetap bertahan. Sesakit apapun.
Aku akan menabung uangku, aku harus berobat. Aku tahu ini sudah tidak benar. Pikiranku sudah kacau, bahkan lebih kacau daripada tahun lalu. Aku harus ke psikiater, bahkan jika harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa pun akan kulakukan agar bisa sembuh. Karena aku sungguh tidak kuat, rasanya sakit. Aku harus sembuh, persetan dengan orang yang menganggap hal itu tabu. Aku hanya ingin sehat.
Di ulang-tahunku tahun ini, aku harap ada seseorang yang bilang  "Kamu kuat sekali, Lav. Terus bertahan ya, aku di sampingmu. Kamu ga sendiri,". Aku harap, ada seseorang yang berkata bahwa aku kuat, bahwa aku tegar. Setidaknya, ada seseorang yang mengakui perjuanganku melawan ini. Setidaknya ada satu orang, maka aku akan sangat bersyukur dan merasa tidak sendiri.

6/03/2020

Nafsu Mematikan adalah Mencari Kepastian

Juni 03, 2020 0 Comments
Now Playing ; Halsey - Control

Sesuatu yang jelas. Kebiasaan yang dilakukan terus-menerus di suatu jam yang sama, seperti ritual. Segala hal berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada perubahan. Membuat kita merasa aman, tahu segala hal sehingga mengerti apa yang harus disiapkan untuk menghindari kesalahan yang dapat terjadi.
Kepastian membuat kita merasa aman, karena mengetahui medan apa yang akan kita lalui. Sejak zaman purba, manusia menggunakan instingnya untuk bertahan hidup. Contohnya seperti saat mencari buruan untuk kebutuhan makan, nenek moyang kita mengandalkan strategi pikiran untuk memanipulasi hewan buruan agar merasa tidak terancam.
Misal, ingin memburu rusa. Biasanya, orang zaman dahulu membalurkan darah buruan rusa sebelumnya ke seluruh tubuh mereka agar ketika mereka mendekat ke buruan rusa yang baru, rusa baru tidak curiga karena aroma yang diciumnya adalah aroma spesiesnya. Ia merasa aman, ia menjadi lengah. Padahal, kejutan selalu datang tiba-tiba. Dan semenit kemudian, apa yang terjadi? Sekujur tubuhnya terpanggang dijadikan lauk-pauk, dan dia kalah.
Manipulasi, layaknya dua mata pisau. Kita bisa menggunakannya untuk hal baik maupun buruk. Hal baiknya seperti contoh yang sudah kuceritakan di atas. Hal buruknya, seperti yang pernah kujelaskan di artikel sebelumnya tentang Pembalasan Dendam dengan Teknik Manipulasi Emosi.
Inti yang sangat ingin kusampaikan dari rangkaian kata pembukaan di atas adalah bahwa manusia akan melakukan apapun agar ia merasa aman, bahkan meski harus melakukan hal yang menyakiti orang lain.
Di artikel sebelumnya, aku pernah berjanji untuk memberi-tahu kalian semua tentang taktik manipulasi. Kini aku akan mencoba menjabarkannya, namun hanya dengan beberapa petunjuk. Lalu kalian koneksikan petunjuk-petunjuk kecil yang kuberikan di artikel ini, dan hasilnya adalah taktik manipulasi yang kamu cari-cari.
Sisi positif jika kamu tahu cara manipulasi yaitu penuh kontrol, tahu segalanya, selangkah di depan orang-orang, dan yah... Bisa anggap dirimu Tuhan. Tapi sebentar, adakah manusia sesempurna Tuhan di semesta ini? Jangan dijawab, itu pertanyaan retorik.
Sisi negatifnya, kamu penuh kontrol dengan cara memaksakan segala kondisi harus sesuai aturan-aturan buatanmu. Kamu memaksakan orang-orang di sekitarmu untuk memakai topeng, demi kesenanganmu. Padahal mereka tersiksa dalam diam, dan sakit karenamu. Kenapa? Karena kamu ingin merasa aman, penuh kontrol. Seperti yang kujabarkan di atas. Segala hal sesuai rencana, jadikan seperti rutinitas. Agar berjalan sempurna. Agar kamu aman.
Kamu tahu segalanya, selalu selangkah di depan orang-orang? Dengan cara memikirkan tiap seribu satu kemungkinan yang bisa terjadi tiap malam. Overthinking tiap malam, insomnia tiap malam, merasa insecure.
Apakah kamu yakin rela mengorbankan pikiran sehatmu dan jam tidurmu hanya demi bisa memanipulasi orang lain dengan kontrol? Jika iya, maka kuberi tahu penjelasan lagi.
Bahkan nanti, kamu akan menjadi sangat susah dalam memberi kepercayaan pada orang lain. Karena selalu memikirkan kemungkinan terburuk pada orang lain, kamu merasa harus selalu siaga terhadap orang-orang di sekitarmu. Agar apa? Agar ketika mereka menyerang, kamu bisa dengan mudahnya mengalahkan mereka. Menyenangkan, di awal. Tapi di akhir? Bisakah kamu bayangkan penderitaan orang itu? Dan kamu juga akan menderita, ketika sadar di awal bahwa yang kamu lakukan sebenarnya juga menyakiti dirimu sendiri. Kamu ditinggalkan. Sendirian. Hanya bersama pikiranmu yang kini sudah sakit, virus-virus negatif mulai menguasai pikiranmu. Lalu di akhir? Di pikiranmu menciptakan sesesok monster iblis yang jahat. Yang lama-lama, bukan kamu lagi yang menguasai pikiranmu. Tapi monster tersebut. Tahukah kamu apa makanan favorite monster tersebut? Kehancuran. Pada dirimu sendiri, maupun orang lain.
Sisi buruk selanjutnya adalah kini kamu sakit, ditinggalkan, dan menyedihkan. Kamu memiliki monster yang hidup dalam pikiranmu, yang akan selalu menjadikanmu boneka sirkusnya. Dan kamu tidak bisa berkutik. Karena manipulasi, the deadly desire to control others, hanyalah sebuah jebakan. Jebakan dari rasa dendam terhadap seseorang. Jujurlah padaku, di awal kamu ingin mengetahui teknik manipulasi karena ingin menghancurkan seseorang kan? Itu balas dendam.
Tapi kini apa? Nyatanya kamu yang dimanipulasi. Dan sekali saja monster itu telah menemukan tempat tinggal di pikiran manusia, akan sangat susah untuknya pergi. Kamu menjadi tahanan dalam penjara yang kamu buat sendiri.
Tanpa sadar, kamu akan menjadi tukang control freak yang dibenci banyak orang. Dan sialnya? Kamu tidak bisa berhenti. Karena menghancurkan orang lain dan menghancurkan dirimu sendiri adalah makanan monster tersebut. Siapa kini yang akan membantumu keluar?
Ketika kamu meminta bantuan, kamu juga sudah tidak bisa mempercayai siapapun. Pikiranmu sudah sakit. Dan makin lama, bagai parasit, monster dalam pikiranmu akan membunuhmu juga. Ia akan membuat dirimu sendiri membencimu.
Kamu melihat begitu banyak orang yang meninggalkanmu karena kamu begitu susah untuk dimengerti. Mereka pergi satu-persatu karena kamu terus-terusan menyakiti mereka, mereka hanya ingin berlindung darimu. Kamu akan semakin menyalahkan dirimu. Bahkan melihat ke arah cermin pun jijik, tak sudi. Kamu akan membalik semua cermin di kamarmu. Tidak makan berhari-hari, tidak tidur berhari-hari. Kamu akan merasa tidak adil. Saat orang lain ingin berlindung darimu, mereka bisa pergi darimu. Tapi kamu? Jika kamu ingin berlindung dari dirimu sendiri, tak bisa karena sialnya kamu terjebak dalam penjara di pikiranmu sendiri, tidak akan pernah bisa pergi. Kecuali jika kamu mati.
Jika kamu siap mati, maka silahkan. Manipulasi semua orang sesukamu, ambil kontrol dan kekuasaan sebanyak yang kamu mau. Tapi selalu inget semua konsekuensi yang sudah kutulis di atas.
Berhati-hatilah. Beberapa hal lebih baik untuk tetap menjadi rahasia dan tidak diketahui.

3/05/2020

i wanna go to somewhere peaceful.

Maret 05, 2020 4 Comments
Kami adalah wajah-wajah manusia tanpa mata yang bisa menunjukkan empati. Bibir terjahit paksa dengan garis senyuman tiap incinya, darah keluar di tiap sela jahitan. Di tepi jalan, kulihat makhluk sesamaku bergandengan tangan dengan dada kiri yang bolong. Tidak ada jantung, hanya jiwa-jiwa yang hampa. Oksigen yang kami hirup untuk tetap hidup adalah serbuk putih yang berfungsi untuk melupakan segala kesakitan. Di dalam darah kami, mengalirkan alkohol memabukkan. Kami disebut makhluk hampa. Kami bernapas, tapi kami tidak hidup. Kami adalah monster yang ditakuti manusia-manusia normal, kamilah parasit yang hidup di kepala kalian. Kami memiliki perjanjian dengan Tuhan kalian masing-masing untuk memberi kalian surga, sebuah ketenangan, dengan cara tercepat dan termudah.
Sekarang, kutanya pada kalian "Apakah kalian senang hidup di dunia ini?", 90% akan menggelengkan kepala dengan cepat. 10%-nya lagi sudah berada di ambang jurang kematian, bergelantungan sendirian. Biar kuberi sebuah penawaran hebat, tapi hanya bagi si pemberani.
Genggamlah tangan kami, ikut kami bergandengan tangan bersama-sama. Pejamkan mata, di depan kita sudah tersiapkan surga gelap. Jatuhkan diri bersamaan dalam hitungan detik, maka rasa aman dan tenang yang telah lama dicita-citakan segera tergapai. Lihatlah sekitar kita, hanyalah berisi tentang kesakitan, nestapa, perpisahan, nan perjuangan berujung lara. Lautan mayat akibat peperangan, perceraian, pertengkaran menjadi asupan kita sehari-hari. Sudahi saja. Untuk apa berlama-lama dalam kesakitan? Kita berhak untuk bahagia. Maka sekarang, mari ke surga bersama. Ada banyak kendaraan, kalian bisa pilih :
1. Ambil pistol, arahkan ke kepalamu. Tarik pelatuk.
2. Ambil tali, lilitkan di lehermu. Tendang kursi.
3. Ambil obat-obatan, tenggak semua. Tanpa sisa.
4. Minumlah alkohol, hingga tidak sadar. Mengemudilah.
5. Ambil alat tajam, sayatkan vertikal di sepanjang pergelangan tangan.
Jangan lupa... Kendarai ke-5 kendaraan ini ketika sepi. Dijamin 100% ketenangan abadi akan langsung tercapai. Karena tidak ada satupun manusia yang akan membantumu di dunia ini. Kamu selamanya sendirian, berjuang sendirian. Tidak ada yang peduli. Tunggu apa lagi? Selamatkan dirimu sendiri dari kekacauan dunia. Di sini tidak tenang, di sini hanya berisi rasa sakit. Kamu ingin tenang, bukan? Maka segeralah lakukan. Bergabunglah bersamaku.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

that's what my monster always said inside my head every second.

11/22/2019

this is a cry for help. (sebuah frasa)

November 22, 2019 3 Comments
Tolong. Aku bergelantungan di jurang kehancuran lagi.
Tolong. Mengapa mulutku terbungkam dan malah tersenyum?
Tolong. Aku sedang disekap oleh monster kejam yang sedang bersiap menghunuskan pedangnya ke jantungku.
Tolong. Di sini gelap, tiada siapapun. Aku sendirian. Aku berusaha memeluk Tuhanku.
Tolong. Mulai kulihat cahaya di ujung lorong, samar-samar bayangan manusia sedang bercengkrama. Wahai kalian, dengarkan teriakan ku. Banyak sekali orang, tapi monster itu telah menebas pita suaraku.
Tolong. Aku terbungkam, terantai dan dipukuli monster ini berkali-kali.
Tolong. Seseorang, kumohon lihatlah ke belakang. Luangkan waktu kalian sebentar saja untuk menolongku.
Tolong. Kumohon, lihatlah tangisku yang berbalut senyuman. Aku tidak lagi sanggup berpura-pura kuat.
Tolong. Monster itu sudah mulai menemukan titik lemahku yang baru.
Tolong. Ia menyeringai dengan taringnya yang tajam, menggertakkan giginya dan mencekek leherku kemudian menjeburkan kepalaku ke dalam air.
Tolong. Aku kehabisan napas. Tanganku bergerak tak tentu arah ke atas berusaha mencari udara tapi tidak bisa, tanganku terikat kuat dengan rantai dingin penuh duri.
Tolong. Sesak, aku mulai menelan air. Segalanya terasa kabur. Dadaku dihujani batu ton besar, kini pecah berkeping-keping.
.
.
.

Seseorang... Tolong aku. Kumohon. Kumohon. Kumohon. Aku tidak berani meminta bantuan kalian. Monster ini sedang menyekapku. Kumohon. Tolong. Tolong. Tolong.

10/18/2019

Why is everything so heavy?

Oktober 18, 2019 1 Comments
Sudah lama sekali aku tak pernah membuka blog ini sampai sudah usang dan berdebu. Well, kini aku tinggal di Malang. Menjalani kehidupan sehari-hari sebagai mahasiswa baru di salah satu universitas di kota bunga tersebut. Hawa dingin tiap pagi yang membuat kulitku meremang. Membuatku ingin terus selalu menceruk di bawah selimut. Tapi dengan paksa, kucoba membangunkan diri sendiri dan pergi ke kamar mandi untuk bersiap-siap.
Kalender sudah memberiku peringatan bahwa ini bulan Oktober. Seharusnya hujan sudah datang sejak Agustus akhir, namun tidak juga kunjung datang. Aku rindu menangis di tengah hujan supaya tidak ada seorangpun yang tahu. Tapi sepertinya, aku hanya bisa menangis di kamar mandi sendirian untuk sementara waktu ini.
Beberapa teman SMAku bilang jam kuliah mereka hanya jam 10 pagi sampai jam 2 siang. Atau jam 3 sore sampai jam 5 sore. Sedangkan jam kuliahku bisa dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Sungguh tahun ajaran baru yang sibuk. Mungkin karena aku masuk di jurusan ilmu pendidikan, maka dari itu jam kuliahku lebih padat daripada jam kuliah teman-teman lain yang memiliki jurusan ilmu murni. Tapi tak apa, meski lelah, aku menjalani segalanya dengan bahagia. Karena aku bersyukur, aku punya kesempatan berkuliah. Itu sudah cukup untukku.
Di sini, Lavida yang suicidal benar-benar sudah berubah. Aku menjadi seseorang yang selalu tersenyum, tertawa, riang, dan melakukan hal-hal konyol untuk membuat teman-teman kuliahku tertawa. Aku memiliki begitu banyak teman di sini. Berbeda ketika aku di masa SMA, apalagi ketika dulu aku benar-benar di masa depresi dan semua orang meninggalkanku.
Aku merasa bahwa semua orang memang hanya ingin melihatku bahagia. Begitu banyak orang yang suka berada di dekatku sekarang, karena aku mempunyai energi positif yang terus melimpah ruah. Mereka ingin tertular positive vibe yang kumiliki.
Secara tiba-tiba dengan ajaib, aku bisa begitu mudahnya menjadi baik-baik saja, menjadi bahagia. Secara ajaib, tiba-tiba aku yang dulu depresi, tak memiliki harapan, dan sudah mencoba bunuh diri berkali-kali, menjadi seseorang yang selalu tersenyum dan hanya tertawa.
"Kamu kok selalu senyum sih Lav?"
"Lav, rahasia supaya selalu kuat senyum itu gimana? Kadang aku capek dan ngga bisa ngontrol ekspresi wajahku yang capek jadi keliatan dan orang ngira aku judes,"
"Di semua foto-foto candidmu yang diambil anak-anak, kamu selalu senyum ya"
"You're so positive, I like it"
"Aku pingin kayak kamu, Lav. Bahagia terus keliatannya"
Bagaimana bisa? Apa rahasianya?
Karena aku sudah mengalami dan merasakan kerasnya realita bahwa semua orang tak peduli pada alasan-alasan dibalik tindakanku, yang semua orang inginkan hanyalah supaya aku tersenyum. Bahkan ketika aku ada masalah, ketika fase depresiku kambuh, ketika beberapa menit yang lalu aku menangis, semua hanya ingin melihatku tersenyum. Jika aku menunjukkan sedikit saja gejala depresiku, orang akan menjauh lagi. Jujur, rasanya sangat menyakitkan. Aku benar-benar kesepian, seperti tidak ada yang peduli padaku. Kupikir aku sudah melawan mental illness yang kuderita. Ternyata tidak.
Saat kelas 12, aku didiagnosa psikiater bahwa aku terkena Bipolar Tipe 2. Dan psikiater tersebut bilang bahwa, "Bipolar akan selamanya ada di hidup penderitanya. Bipolar tidak bisa disembuhkan. Jika hanya depresi, dengan beberapa treatment bisa sembuh. Tapi bipolar tidak bisa," katanya begitu. Dalam hati, aku dongkol. Aku sudah benci didiagnosa bahwa aku mempunyai mental illness dan perkataan pesimis dari psikiaternya membuat moodku semakin hancur. Aku tidak suka psikiater tersebut, ia semakin membuatku tambah down. Dulu juga aku harus meminum obat bipolar untuk mood stabilizer, nama obatnya Depakote ER. Rasanya tidak pahit, namun ukurannya sangat besar. Mahal pula. Setiap hari sebelum berangkat sekolah dan saat mau tidur, ibuku selalu mengingatkanku untuk meminumnya. Namun aku tidak suka. Dulu aku sangat benci fakta bahwa aku begitu lemah karena mempunyai mental illness. Aku tidak rela, aku merasa aku tidak sakit. Begitu memalukan rasanya.
Saat meminum obat itu rasanya aku seperti zombie. Pikiranku begitu statis. Susah berkonsentrasi. Rasanya sangatlah kosong, hampa.
Akhirnya setelah obatnya habis, aku memutuskan untuk tidak mengkonsumsi obat-obatan tersebut dan berjanji pada diri sendiri bahwa aku bisa melawan penyakit ini dengan caraku sendiri. Juga, aku berusaha membuktikan bahwa bipolar bisa hilang.
Saat aku dalam fase depresi, aku akan  mengurung diriku sendiri di kamar dan menjauh dari orang-orang. Aku takut aku akan menyakiti diriku sendiri dan orang lain. Dalam fase depresi, perlu kalian tahu bahwa di fase inilah yang paling berbahaya karena pikiran-pikiran untuk bunuh diri sering muncul. Maka dari itu, aku mengurung diri dan memilih untuk tidur atau melihat video-video lucu di YouTube.
Saat aku dalam fase mania, aku begitu bahagia. Energiku seperti tidak pernah habis. Di pikiranku muncul ide-ide gila yang tidak berguna. Aku berbicara pada semua teman sekelas ku satu persatu. Aku jalan kaki dari gerbang depan sampai gerbang belakang bolak-balik 4x tanpa lelah. Aku boros dan tidak berpikir panjang saat menghabiskan uang (impulsif). Aku tidak butuh tidur, bahkan bisa belajar 2 hari terus-menerus tanpa tidur di meja belajar dengan kepala tertunduk karena hanya fokus dengan buku. Aku menyiasati fase ini dengan lari-lari keliling sampai aku lelah dan bisa tidur. Bagaimanapun caranya, aku harus tidur.
Di fase mania, aku begitu bahagia. Kupikir aku sudah mengalahkan bipolar. Aku sombong, berbangga diri.
Tapi ternyata, aku salah. Kupikir aku sudah baik-baik saja. Ternyata saat itu aku hanya dalam mania. Ketika fase depresi muncul, semua pikiran negatif itu muncul lagi. Tiap detiknya begitu menyakitkan. Aku hanya ingin menangis.
Tapi tidak ada seorangpun yang tahu. Kini aku sudah menjadi aktor yang hebat. Aku sudah terbiasa menahan rasa sakit sendirian, menahan air mata supaya tidak jatuh, tersenyum bahkan ketika pikiran-pikiran bunuh diri itu menjerit.
Aku akan selalu tersenyum mulai sekarang. Dengan ajaibnya, seolah aku berhasil mengalahkan bipolar yang didaku penyakit seumur hidup itu. Aku akan menahan segalanya sendirian, aku tidak mau orang-orang meninggalkanku lagi jika mereka tahu.
Tentu, terkadang ada waktu dimana aku lelah berpura-pura. Beberapa pil obat sudah ada di genggamanku, namun segera kutepis pikiran anehku. Kubuang obat itu jauh-jauh. Kucoba tidur. Kucoba untuk mengerjakan tugas. Kucoba untuk memanipulasi otak bahwa aku baik-baik saja dengan tertawa dan melakukan pekerjaan sehari-hari.
Beberapa hari yang lalu, anggota f(x) bunuh diri dengan menggantung dirinya di apartemen. Aku segera melihat Instagramnya. Kuekspektasikan rasa bela sungkawa, namun yang kutemukan adalah cacian.
"Kamu harusnya mati lebih cepat"
"Ya, benar. Lebih baik kau mati daripada hanya menjadi sampah"
"Dia selalu ingin menjadi pusat perhatian. Bahkan saat mati. Dia bilang dia depresi kan? Dasar orang gila,"
"J*lang sepertinya memang pantas untuk mati."
Jahat sekali. Anehnya, aku membaca komentar-komentar itu seperti ditujukan pula padaku.
Kasus Sulli membuatku teringat diriku di masa lalu ketika berusaha melakukan bunuh diri. Sebenarnya, kasus-kasus seperti ini membuat orang-orang dengan mental illness jadi triggered.
Untuk orang-orang awam, biar kuberi perspektif ku tentang apa yang Sulli rasakan sebelum memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Memang kami bisa terlihat begitu bahagia ketika tadi pagi bersamamu. Tertawa tanpa beban. Melakukan hal-hal konyol dan terlihat begitu bahagia. Namun ketika sorenya, kami berpisah. Kembali ke rumah masing-masing. Ke kamar, sendirian.
Di waktu inilah, monster di pikiran kami akan menjerit-jerit. Mereka menyuruh kami untuk membunuh diri sendiri, menyakiti diri sendiri. Monster itu bilang tidak ada yang peduli pada kami, tidak ada yang sayang.
Pasti Sulli merasakan itu. Ia membuka ponselnya, semua notifikasi yang ia dapatkan adalah dari pembencinya. Ejekan-ejekan yang selamanya akan membekas dalam hatinya. Ia pernah mencoba meminta tolong. Dengan bilang pada agensinya, tapi tidak ada yang peduli. Sulli sering menangis di live Instagramnya tapi kebanyakan orang melabelinya attention seekers. Orang kira dia hanya mabuk. Padahal semua yang ia lakukan adalah a cry for help.
Kini apa yang dikatakan monster tersebut memang benar bagi Sulli. Yang dikatakan monster itu adalah fakta, bahwa semua orang membencinya. Semua orang lebih bahagia jika ia mati. Tidak ada yang peduli padanya. Ia sendirian, kesepian. Pikirannya kalut, sudah tidak bisa berpikir logis.
Maka saat itu, ia menggeret salah satu kursi di meja makannya. Ia mencari tali kemudian mentalinya di langit-langit rumah. Ia menangis seorang diri di apartemennya. Membenci dirinya sendiri. Kemudian ia naik ke kursi tersebut. Memasukkan kepalanya ke dalam tali, lalu mengeratkan tali itu di lehernya. Untuk terakhir kalinya, ia mengecek ponselnya. Notifikasinya hanya berisi komentar-komentar jahat. Sullipun mematikan ponselnya, dengan sekali hentakan, ia menendang kursi yang ia pijaki. Ikatan di lehernya semakin mengerat. Ia bergelantungan di langit-langit. Kedua kakinya berpencal tanpa arah. Lehernya begitu sakit. Ia butuh oksigen namun sudah terlambat. Tali itu hanya semakin berubah erat. Dan akhirnya tubuhnya melemas, kulitnya perlahan menjadi ungu. Sullipun meninggal, sendirian.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Aku bilang aku lelah, tapi tidak ada yang mendengarkan ku. Aku merasa aku sendirian," — Sulli.
Saat kasus tersebut muncul, ada salah satu teman yang menanyaiku tentang pendapatku. Ia menyuruhku berjanji untuk tidak melakukan apa yang Sulli lakukan. Maka aku pun berjanji, "Janji yang ingin kubuat adalah aku akan berada di sini, sampai waktu yang lama. Aku tidak akan pergi jauh dan aku akan membuat orang-orang yang kusayangi bahagia dan diriku bahagia".
Memang, bipolar ini akan selamanya menyiksaku. Dan rasa kesepian, rasa bahwa tiada yang peduli, akan selamanya menggerogoti jiwaku sampai nanti membusuk. Tapi biarlah, aku akan melawan sebisaku. Memang, tidak ada yang peduli. Memang, aku sendirian. Memang, jika orang tahu rahasia ini mereka akan meninggalkanku lagi.
Tapi biarlah, mungkin memang aku harus berjuang sendirian. Mungkin memang, di dunia ini tidak ada yang peduli padaku. Tapi aku peduli dengan diriku sendiri, itu cukup. Aku juga punya Allah. Sakit sekali rasanya, mengetahui bahwa tidak ada yang peduli. Orang-orang yang kupikir peduli, ternyata bisa begitu mudahnya pergi ketika aku menunjukkan bahwa aku butuh pertolongan.
Baiklah, memang meminta pertolongan tidak akan bisa kulakukan lagi. Orang akan pergi jika aku melakukannya.
Baiklah, aku akan menerima ini. Aku akan terus melawan bipolar ini, dengan caraku sendiri. Sendirian. Aku tidak akan berakhir seperti Sulli. Aku punya Allah.
Sungguh rasanya sakit. Tapi bagaimana lagi? Tidak ada yang peduli, kecuali Allah. Orang bilang peduli, namun aksinya menunjukkan sebaliknya. Sungguh sakit, aku ditampar realita lagi. Tapi baiklah, aku akan menerimanya. Aku akan selalu menyemangati diriku sendiri. Ketika aku jatuh, aku akan bangun sendiri. Ketika air mata ku jatuh, aku akan mengusapnya sendiri. Itu cukup bagiku.
Tiap monster itu muncul, aku akan balik berteriak padanya, "NOT TODAY, SATAN! I don't have enough time for this".