Follow Me @lavidaqalbi

3/02/2018

Aku Ingin Menulis Takdirku Sendiri

Pagi ini kudapati diri duduk manis di bangku sekolah. Berseragam pramuka lengkap dan jilbab yang membalut rapi kepalaku. Aku membuka buku pelajaran (KIMIA), ku baca halaman demi halaman. Mencoba memahami apa yang dimaksudkan si penulis. Tapi tetap saja, aku tidak bisa paham.
Aku mengerahkan pandanganku ke sekitar ruangan. Ku lihat teman-teman sekelasku begitu antusias mempelajari pelajaran. Mereka begitu menggebu-gebu, mencoba memahami sampai titik darah penghabisan. Mudah bagi mereka. Tidak denganku.
Acap kali aku membaca dan mencoba memahami, pikiranku tidak mau fokus. Ia tidak mau memasukkan pelajaran itu ke dalam otak. Ia malah sibuk memikirkan masalah-masalah yang menjengkelkan, membuat informasi pelajaran yang kupelajari seolah tidak bisa masuk karena terpental jauh-jauh. Aku benar-benar ingin menembak kepalaku. Supaya pikiranku itu bisa diam, tenang, dan tidak menjengkelkan lagi.
Ku dengar obrolan lalu-lalang teman-temanku. Mereka saling berdiskusi tentang pelajaran. Saling bertukar informasi tentang pelajaran KIMIA. Mereka saling belajar bersama. Aku ingin ikut. Aku pun ingin belajar dengan mereka. Tapi aku mengurungkan niatku. Pikiranku lagi-lagi tidak mau berkompromi denganku. Ia memberiku informasi-informasi negatif, "Percuma kamu ikut belajar dengan mereka. Kamu tidak akan bisa. Orang bodoh sepertimu hanya akan mempersulit mereka. Duduk saja dan diamlah!". Aku tidak mau mempersulit teman-temanku, yang akhirnya menghasilkan diriku terdiam di bangku. Menghabiskan waktu yang seharusnya bisa kugunakan belajar untuk melamun.
Saat soal ujian dibagikan, tentu aku tahu aku akan gagal. Aku tahu benar aku akan kesulitan menjawab soal-soal ini. Aku merasa menjadi makhluk terbodoh, makhluk tergagal di dunia. Aku mengutuki diriku sendiri. Membenci kenapa hari kemarin tidak kugunakan dengan baik untuk belajar.
Tapi waktu terus bergulir, mau tidak mau aku harus mengerjakannya. Dengan rumus hapalanku yang pas-pasan, aku nekat menjawab sebisaku. Rasanya saat itu aku ingin segera mati saja, aku ingin tenang. Aku sudah lelah hidup di bawah tekanan hidup terus-menerus.
Setelah KIMIA selesai, maka aku harus siap menghadapi SEJARAH. Syukurlah, saat itu waktu untuk istirahat. Dan ada dua temanku yang mengajakku belajar bersama, walau kemudian satunya menghilang. Dengan satu temanku yang tersisa tadi, kami saling berdiskusi pelajaran. Ia mengajakku belajar bersama di bawah pohon rindang, "Cari oksigen," katanya. Aku bersyukur, karena setidaknya aku siap untuk menghadapi SEJARAH, tidak seperti KIMIA tadi pagi.
Aku tersenyum tipis ketika mendengar bel pulang sekolah terdengar, "Akhirnya aku bebas dari penjara ini,". Setelah aku berucap selamat tinggal pada teman sekelasku, aku mempercepat langkahku keluar dari kelas. Aku menuju ke parkiran tempat sepeda motorku berada. Dalam perjalanan, aku bertemu dengan teman-temanku dari kelas lain. Mereka menyapaku, akupun menyapa mereka. Kami bertukar senyum dan bertukar cerita singkat. Harus ku akui, waktu pulang sekolah adalah surga dunia para pelajar. Dan aku merasa sangat bahagia di saat ini.
Dalam perjalanan menuju ke rumah, aku menyenandungkan lagu sambil menyetir. Kecepatan motor ku pelankan, aku benar-benar ingin menikmati pemandangan yang kulihat. Karena jalan menuju rumahku melewati hamparan sawah hijau yang dipenuhi padi-padi segar. Belum lagi bahwa tadi adalah jam 11. Waktu dimana langit begitu biru, berhiaskan segores awan putih bak kapas, bersinar dengan cantik ditemani matahari. Aku menikmati kesendirianku. Merasakan sejuknya angin yang memeluk tubuhku. Aku suka. Aku tidak mau terlalu cepat sampai di rumah.
Tapi mau tak mau, akhirnya aku sampai juga. Begitu aku masuk ke dalam rumah, suasana hatiku murung. Sepi, tidak ada orang. Aku benci kesepian. Mungkin kalian akan bingung, padahal tadi aku menulis bahwa aku menikmati kesendirianku. Tapi baru saja, kalian membaca tulisanku bahwa aku benci kesepian. Aneh, bukan?
Aku menikmati kesendirianku. Tapi aku benci kesepian.
Aku susah menjelaskannya lagi. Pokoknya, itulah yang kurasakan. Kesepian yang kurasa ini sangat menyiksaku. Aku merasakan kekosongan yang luar biasa. Dulu kupikir itu karena lapar. Tapi tidak peduli seberapa banyak makanan yang ku lahap, rasa kosong itu tidak terisi. Padahal semua orang yang mengenalku tahu bahwa aku susah makan. Bahkan saat itu, berat badanku naik 5 kg dalam sekejap. Ternyata, rasa kosong itu adalah rasa sepi. Rasa kosong itu melubangi hatiku, seperti galaksi, tidak peduli seberapa banyak makanan yang kumakan, tidak akan terisi. Karena itu bukan rasa lapar, itu adalah rasa kesepian.
Aku mencoba mencari-cari di internet, mengetik di search bar Google Chrome, "I feel so empty. What should I do?". Artikel-artikel itu menyuruh untuk berbicara dengan kerabat, melakukan hobi yang disukai, memakan makanan yang diinginkan, dan lain-lain. Aku sudah melakukannya, tapi tetap saja, rasa kosong itu tidak juga segera terisi.
I am lonely like crazy.
Aku mencari artikel lain, di sana disebutkan agar aku harus mengetahui penyebab rasa kekosongan yang kurasa terlebih dahulu. Akupun mencoba untuk lebih memahami diriku sendiri. Bagaikan mendapat sebuah ilham, akhirnya kudapatkan jawabannya. Ternyata aku merasa kekosongan paling ekstrim adalah saat aku sepulang dari sekolah. Bayangkan, di sekolah aku dikelilingi oleh banyak orang, teman-teman sekolah. Kami bercanda, tertawa bersama (meski kadang aku memalsukan kebahagiaanku), berbincang, dan bermain. Kemudian di saat aku masuk ke dalam rumah yang sepi, aku kehilangan keramaian itu dalam sekejap. Saat aku masuk ke dalam kamar, hanya kudapati diriku dan bayangan hitamku. Tidak ada siapapun, selain aku.
Saat sudah kutemukan alasannya, saatnya untuk mencari jawaban atas masalahku ini. Aku mencoba bertanya pada temanku tentang rasa kosong itu. Masing-masing dari mereka punya jawaban yang berbeda. Ada yang bilang mereka mengatasi rasa kosong dengan bermain games, membaca novel favorit, menonton drama korea, dan lain-lain. Aku sudah mencoba itu semua, namun tidak sampai tiga hari, aku bosan. Dan aku kembali merasakan kesepian.
Aku ingin bahagia, tapi aku tidak bisa. Siapa juga yang ingin rasa kesepian, yang hampir bertetangga dengan rasa sedih? Tak ada. Tak satupun makhluk di dunia ini menginginkan dua rasa itu. Tidak jarang, teman yang kutanyai seakan menjawab, "Berhentilah berdrama. Jika ingin bahagia, maka bahagialah.". Aku jadi ingin tertawa, jadi mereka berpikir bahwa aku memilih untuk bersedih?
Aku harap mereka tahu, bahwa semua hal yang kurasa ini, aku tidak punya kontrol. Aku tidak punya remotnya. Karena malah, sesungguhnya aku adalah robotnya. Aku yang dikontrol.
Tanggapan orang dengan pemikiran seperti itu membuatku yang tertutup, menjadi lebih tertutup. Aku tidak berbicara jika tidak penting. Aku tidak berani untuk memulai pembicaraan lebih dahulu karena aku takut jika orang yang kuajak bicara terganggu denganku. Kepribadianku ini membuatku dikira sombong dan sok. Seandainya mereka tahu yang sesungguhnya...
Akupun ingin bahagia. Akupun ingin bisa menghentikan suasana hati berbela-sungkawa yang terus-terusan mengangguku. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak punya remot controlnya. Aku ingin menulis takdirku sendiri. Tapi aku adalah robotnya. Aku bukan Tuhan. Aku cuma manusia.

P.S: Untuk siapapun yang membaca ini, mungkin jika belum ada seorangpun yang bilang ini padamu, kamu sempurna dan berharga. Aku ingin melihat wajah kalian satu-persatu. Aku bisa membayangkan betapa cantik dan tampannya kalian semua. Sudahkah kamu makan dengan baik hari ini? Sudahkah kamu meminum air putih yang cukup? Jaga dirimu baik-baik, ya. Jangan menyalahkan dirimu jika kamu belum melakukan hal yang seharusnya kamu lakukan hari ini, kamu bisa melakukannya lain kali. Semua akan membaik. Aku masih bangga padamu, oke? Aku menyayangimu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar